Anak Buah Luhut beri Bantahan ke Faisal Basri soal Hilirisasi Nikel Hanya Untungkan China
Hilirisasi nikel (Foto: dok. antara)

Bagikan:

JAKARTA - Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto menyampaikan sejumlah poin bantahan atas pernyataan Ekonom Senior Faisal Basri mengenai hilirisasi nikel yang hanya menguntungkan China.

Seto berpendapat terdapat lima klaim Faisal Basri di dalam artikel bantahannya yang dinilai tidak tepat antara lain angka ekspor produk hilirisasi nikel Rp510 triliun yang disampaikan Presiden Jokowi salah, pemerintah mendapatkan pajak dan penerimaan negara yang lebih kecil dengan melarang ekspor bijih nikel, pemerintah memberikan harga bijih nikel “murah” kepada para smelter, nilai tambah hilirisasi nikel 90 persen dinikmati investor Tiongkok, dan kebijakan hilirisasi nikel tidak menimbulkan pendalaman industri karena kontribusi industri pengolahan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) justru menurun.

"Pertama, terkait klaim Faisal Basri bahwa angka ekspor hilirisasi nikel tahun 2022 Rp510 trilun yang disampaikan Presiden Jokowi salah karena menurut hitungan dia angkanya Rp413,9 triliun. Kesalahan utama Faisal Basri di sini adalah tidak update terhadap perkembangan hilirisasi di Indonesia, sehingga dia hanya memasukkan angka ekspor besi dan baja senilai 27,8 miliar dolar atau Rp413.9 triliun," ujarnya yang dikutip Senin 14 Agustus.

Menurut Seto, hilirisasi nikel Indonesia juga memproduksi bahan lithium baterai seperti nikel matte dan Mixed Hydrate Precipitate (MHP) yang tergabung dalam HS Code 75.

Tahun 2022, nilai ekspor nickel matte dan MHP adalah 3,8 miliar dolar AS dan 2,1 miliar dolar AS. Selain itu masih ada beberapa turunan nikel di HS Code 73.

Menurutnya jika angka ekspor semuanya di total maka angkanya adalah 34,3 miliar dolar AS atau Rp510,1 triliun dan tepat sesuai yang disamaikan oleh Presiden Jokowi.

Kedua, Seto juga membantah klaim Faisal Basri yang menyebutkan negara menerima pendapatan negara yang kecil akibat pelarangan ekspor bijih nikel, karena para smelter tersebut mendapatkan tax holiday 20 tahun.

"Di sini Faisal Basri tidak memahami ketentuan tax holiday di Indonesia sehingga mencapai kesimpulan yang salah," imbuh Seto.

Seto bilang tax holiday 20 tahun diberikan dengan investasi sebesar 30 triliun atau lebih. Sementara jika kurang dari itu maka akan menyesuaikan periodenya antara 5 hingga 15 tahun. Insentif tax holiday ini hanya untuk PPh Badan, pajak-pajak lainnya tetap harus dibayar.

Seto menyebut, berdasarkan data pemberian tax holiday tahun 2018-2020, rerata perusahaan smelter yang memperoleh tax holiday 7-10 tahun.

Dan hanya ada 2 yang memperoleh 20 tahun, dimana saat ini hanya 1 yang beroperasi.

"Masih ada banyak juga smelter yang tidak memperoleh tax holiday karena tidak memenuhi persyaratan selain nilai investasi. Setelah periode tax holiday habis, maka mereka harus membayar pajak sesuai ketentuan," kata dia.

Ia membeberkan, untuk smelter-smelter yang dibangun periode 2014-2016 dan memperoleh tax holiday selama 7 tahun, saat ini sudah memulai membayar PPh Badan.

Dengan mencocokkan data KBLI perusahaan-perusahaan yang memperoleh tax holiday (KBLI 24202), dan penerimaan perpajakan dari KBLI tersebut, dapat terlihat tren peningkatan yang signifikan dari pendapatan perpajakan tahun 2016-2022.

"Penerimaan perpajakan tahun 2022 dari sektor hilirisasi nikel adalah Rp17,96 triliun, atau naik sebesar 10,8 kali dibandingkan tahun 2016 sebesar Rp1,66 triliun," lanjut Seto.

Sementara untuk pendapatan PPh Badan tahun 2022 adalah Rp7,36 triliun atau naik 21,6 kali dibandingkan tahun 2016 sebesar Rp0,34 triliun.

Dirinya menjelaskan, jika kebijakan ekspor bijih nikel tetap dilakukan dengan menggunakan data tahun 2019, pendapatan pajak ekspor hanyalah sebesar 0,11 miliar dolar AS atau Rp1,55 triliun atau 10 persen dari nilai ekspor bijih nikel sebesar 1,1 miliar dolar AS. Angka tersebut tetap lebih kecil jika dibandingkan dengan pendapatan pajak dari sektor hilirisasi nikel sebesar Rp3,99 triliun di tahun 2019.

"Jadi, analisis yang disampaikan Faisal Basri dalam menyanggah statement Presiden Jokowi terkait dengan perpajakan ini juga salah. Dari data diatas, telah terjadi peningkatan pajak yang cukup signifikan dari sektor hilirisasi ini," tegas Seto.

Harga Bijih Nikel Murah

Seto juga dengan tegas membantah klaim Faisal Basri yang menyebutkan bahwa Pemerintah memberikan harga bijih nikel yang “murah” kepada smelter, di mana selisih di dalam negeri dengan harga internasional bisa mencapai puluhan dolar per ton dengan menggunakan data tahun 2022.

"Terkait klaim ini, sebagai seorang yang belajar ekonomi, Faisal Basri tentu mengetahui hukum supply dan demand. Bahwa jika supply menurun sementara demand tetap, maka akan ada kenaikan harga," kata Seto.

Menurutnya hal ini lah yang terjadi pada saat Pemerintah melakukan pelarangan ekspor tahun 2020 hingga saat ini, harga internasional naik karena supply bijih nikel dari Indonesia hilang sehingga smelter-smelter nikel di Tiongkok hanya mengandalkan supply dari Philippina dan beberapa negara lain.

"Padahal Indonesia adalah supplier terbesar bijih nikel ke Tiongkok sebelumnya," imbuhnya.

Seto bilang, jika ekspor bijih nikel Indonesia kembali dibuka maka harga internasional pasti akan turun karena supply bertambah dari Indonesia sehingga perbedaan antara harga nikel internasional dengan HPM pasti akan lebih kecil.

"Untuk itu, saya membandingkan harga ekspor bijih nikel periode tahun 2018-2019, ketika ekspor bijih nikel masih dilakukan, dengan HPM Nikel di periode yang sama. Berdasarkan data yang saya peroleh selisih antara harga ekspor dengan harga HPM dengan grade 1,7 persen dan MC 35 persen hanyalah 5,5 dolar per ton dan 6,9 dolar per ton masing masing di tahun 2018 dan 2019," beber Seto.

Berdasarkan temuan Kemenkomarves pada waktu itu, menurut Seto, ada sebagian disebabkan karena kualitas bijih nikel yang diekspor melebihi batas maksimum kualitas ekspor saat itu yakni 1,7 persen.

Terkait penalti dan beban biaya lain yang harus ditanggung oleh penambang nikel, Seto mengakui memang benar pernah terjadi pembebanan yang tidak fair oleh smelter kepada para penambang.

Menurutnya hal ini disebabkan karena jumlah smelter yang sedikit dibandingkan dengan volume produksi bijih nikel dalam negeri yang besar.

Namun hal ini berubah sejak diberlakukan Permen ESDM 11/2020 dan tindakan enforcementnya kasus-kasus tersebut jauh berkurang, apalagi kondisi saat jumlah smelter yang sudah cukup banyak justru menciptakan kekurangan supply bijih nikel.

"Menurut informasi terakhir yang saya terima dari para pelaku, harga beli bijih nikel saat ini bukan lagi HPM + 2 dolar AS, tapi bisa jauh lebih besar dari itu apalagi untuk yang mau berkontrak jangka panjang," ungkap Seto.

Ia juga mengakui masih ada perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan pemerintah terkait hal ini, antara lain enforcement terhadap aturan ESG, dan juga beberapa aspek tata Kelola nikel yang lain. Namun, jika Faisal Basri menyatakan bahwa Pemerintah memberikan harga bijih nikel “murah” kepada smelter, hal itu adalah berlebihan.

Soal Nilai Tambah Dinikmati Tiongkok

Seto juga memberikan bantahan terkait klaim keempat Faisal Basri yang menbeuut nilai tambah dari hilirisasi nikel 90 persen dinikmati oleh investor Tiongkok.

"Dalam hal ini cukup sederhana untuk membuktikan bahwa pola pikir Faisal Basri salah," tegasnya.

Seto mengatakan jika ekspor bijih nikel ini terus dilakukan maka nilai manfaat dari bijih nikel yang kita miliki 100 persen dinikmati oleh negara lain. Jadi negara asing 100 persen dan Indonesia 0 persen. Tidak ada pajak dan penambahan tenaga kerja yang tercipta di Indonesia.

Menurut Seto hal lain yang cukup penting adalah mayoritas dari investasi hilirisasi nikel di lakukan di wilayah Sulawesi dan Halmahera yang sebelumnya memiliki gap aktivitas ekonomi yang besar dengan Jawa. Dengan adanya investasi ini, terjadi penciptaan tenaga kerja dan aktivitas ekonomi yang besar, yang tidak akan terjadi tanpa adanya hilirisasi nikel ini.

Terkait adanya tenaga kerja di PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Seto juga menjelaskan jika jumlah pekerja saat ini mencapai 74,7 ribu orang dan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) sekitar 56ribu orang. Hal ini belum memperhitungkan kawasan industri lain seperti VDNI, Gunbuster, dan Pulau Obi.

Seto menjelaskan jika dampak penciptaan lapangan pekerjaan dari hilirisasi nikel di Sulawesi Tengah dan Halmahera juga berdampak positif terhadap penurunan angka kesenjangan pendapatan (koefisien gini). Adapun angka koefisien gini di Sulawesi Tengah dan Halmahera turun dari 37.2 persen dan 32,5 persen di 2014 menjadi 30,8 persen dan 27,9 persen di tahun 2022.

"Untuk IWIP dan IMIP, jumlah tenaga kerja lokal rata-rata mencapai 85-90 persen dari total tenaga kerja. Gaji yang mereka hasilkan pun juga jauh lebih tinggi dari UMR, tidak seperti klaim Faisal Basri. Rata-rata gaji di IWIP bisa mencapai 7 juta sebulan, bahkan lebih tinggi dari UMR Jakarta," tegas Seto.

Hilirisasi Tidak Menimbulkan Pendalaman Industri

Seto juga menjawab tudigan kelima Faisal yang menyebutkan jika kebijakan hilirisasi nikel tidak menimbulkan pendalaman industri karena kontribusi industri pengolahan terhadap PDB justru menurun.

Seto dengan tegas menyebutkan jika dalam mencapai kesimpulan ini, Faisal Basri tidak menganalisis data dengan cermat.

"Memang benar kontribusi industri pengolahan menurun pada periode 2014 dibandingkan 2022, namun hal itu sebagian besar disebabkan karena turunnya kontribusi subsektor industri batu bara dan pengilangan migas, industri alat angkutan dan industri kayu, alat dari kayu dll yang turun masing-masing hingga 1,3 persen, 0,5 persen dan 0,4 persen terhadap PDB," kata Seto.

Sementara itu, kontribusi subsektor industri logam dasar terhadap PDB justru meningkat 0,1 persen, utamanya didorong oleh hilirisasi nikel. Menurutnya tanpa ada hilirisasi nikel, penurunan kontribusi industri pengolahan tentunya akan lebih turun.

"Kinerja hilirisasi nikel dalam mendorong industrialisasi terlihat di level provinsi. Sejak tahun 2014 hingga 2022, provinsi dimana hilirisasi nikel terjadi mengalami peningkatan share industri manufaktur yang signifikan. Kontribusi industri pengolahan di Sulawesi Tengah mengalami peningkatan hingga 34,4 persen, sementara kontribusi industri pengolahan di Maluku Utara mengalami peningkatan hingga 24 persen," jelas Seto.

Seto juga mengingatkan jika kebijakan hilirisasi nikel baru dilaksanakan secara konsisten sejak awal 2020, ketika pemerintah menerapkan larangan ekspor bijih nikel. Sebelumnya pernah ada pelarangan, namun tahun 2017-2019 sempat diizinkan kembali ekspor bijih nikel.

"Jadi baru kurang lebih 3 tahun kebijakan hilirisasi nikel ini" imbuh Seto.

Lebih jauh Seto membeberkan dampak konsisten dari hilirisasi nikel selain dari sektor besi dan baja. Dengan adanya hilirisasi ini, menurutnya Indonesia mampu menarik investasi-investasi baru dalam bidang baterai lithium.

Nikel kadar rendah milik Indonesia yang sebelumnya tidak dipakai, saat ini bisa diproses menjadi Mixed Hydrate Precipitate (MHP) yang merupakan bahan baku utama baterai lithium.

"Bayangkan barang yang tadinya hanya sampah, saat ini bisa diproses menghasilkan bahan baku lithium baterai. Pastinya nilai tambahnya sangat besar," jelas Seto.

Indonesia Dapat Apresiasi Dunia Internasional

Selanjutnya Seto juga menceritakan jika dalam pertemuan dengan Managing Director IMF Kristalina Georgieva hari Rabu tanggal 9 Agustus 2023 yang lalu, Georgieva menyampaikan apresiasi terhadap program hilirisasi nikel yang sudah dilakukan oleh Pemerintah yang sudah berkontribusi signifikan terhadap perekonomian dan stabilitas makro Indonesia.

"Beliau juga menyampaikan permintaan maaf kepada Pemerintah Indonesia melalui Pak Luhut, jika laporan IMF yang keluar baru-baru ini menimbulkan polemik di Indonesia. Pak Luhut dan Ibu Kristalina memang sahabat baik yang sudah terbangun sejak tahun 2018, jadi keduanya bisa berbicara secara terbuka dan dari hati ke hati," tutur Seto.

Untuk itu, kata dia, jika dunia internasional saja mengapresiasi upaya Presiden Jokowi melakukan hilirisasi ini, sangat disayangkan masih ada orang-orang di dalam negeri yang mengkritik tanpa dasar, apalagi sampai bilang Presiden Jokowi menyampaikan data yang menyesatkan.

"Masih banyak kekurangan dari program hilirisasi yang kita lakukan saat ini, oleh karena itu kritik dan masukan tetap kami butuhkan. Tentunya dengan dasar dan analisis yang jelas dan tidak asal tuduh apalagi sampai menyebutkan data yang Presiden Jokowi sampaikan menyesatkan," pungkas Seto.

Selain itu, adanya potensi penghematan negara atas kompensasi subsidi Pertalite sebanyak Rp18,6 miliar per tahun dari pelaksanaan 50.000 konversi motor listrik.