Bagikan:

JAKARTA - Ekonom Senior Faisal Basri mengaku, sempat bertemu secara langsung dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan untuk membahas soal larangan ekspor nikel.

Faisal mengatakan, bahwa Menko Luhut sebenarnya keberatan terkait larangan ekspor. Bahkan, kata Faisal, dirinya dianggap menusuk Luhut dari belakang lantaran membocorkan rahasia tersebut.

"Saya sudah ketemu Pak Luhut. Pak Luhut secara pribadi itu enggak setuju larangan ekspor nikel, tetapi gara-gara saya bocorkan omongan itu, katanya rahasia," kata Faisal dalam publikasi kajian Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Senin, 25 September.

"Saya bicara 'enggak ada itu rahasia-rahasiaan', yang kami bahas adalah masalah publik, bukan persoalan keluarga Pak Luhut atau B2B," tambahnya.

Menurut Faisal, pembicaraan antara dirinya dengan Luhut tak harus dirahasiakan karena mengenai isu publik. Dia menilai, Luhut tidak setuju larangan ekspor karena harga nikel semakin mahal.

"Bagi saya enggak ada itu rahasia-rahasia. Dia enggak setuju larangan ekspor karena niscaya larangan itu akan menyebabkan harga nikel mahal. Kalau mahal, mulai sekarang, perusahaan mobil listrik itu menjauh dari Nikel Tanah Air," ujarnya.

Dia menjelaskan, sebanyak 73 persen produsen mobil listrik di Indonesia tidak memakai bahan baku nikel akibat harga yang mahal. Padahal, inovasi baru terus diciptakan sehingga harga mobil listrik lebih murah.

"Negara yang sok tau itu akan menimbulkan semangat inovasi baru, menghasilkan produk yang lebih murah. Sehingga, waktu kami punya pabrik nikel, mobilnya, kan, enggak pakai nikel. Kami juga kelabakan, kalau China punya banyak pilihan, (Indonesia) enggak ada pilihan, modalnya cuma nikel," ungkapnya.

Diberitakan sebelumnya, Ekonom Senior Faisal Basri menjawab sanggahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia hanya menguntungkan China. Sebelumnya, Presiden Jokowi menyebut jika hilirisasi memberikan nilai tambah ke Tanah Air hingga mencapai Rp510 triliun.

Dikutip dari blog pribadinya, Faisal Basri menyebut jika angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya.

"Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China," lanjut Faisal dalam blognya yang dikutip Senin, 14 Agustus.

Faisal merinci, jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel kode HS 2604 tercatat hanya Rp1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai 85,913 juta dolar AS dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama, yaitu Rp11,865 per dolar AS.

"Lalu, dari mana angka Rp510 triliun? Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja kode HS 72 yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah 27,8 miliar dolar AS. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per dolar AS, nilai ekspor besi dan baja kode HS 72 setara dengan Rp413,9 triliun," beber Faisal.