JAKARTA - Ekonom senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri mengatakan Indonesia telah mengalami kerugian yang besar di sektor pertambangan. Bahkan, jumlahnya pun menurutnya mencapai ratusan triliun rupiah. Hal tersebut terjadi karena ekspor bijih nikel mentah atau ore masih terjadi meski pemerintah sudah melarang, salah satunya ke China.
Pada 2020, kata Faisal, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) memang tidak ada ekspor berkode HS2604 untuk nikel ore atau concentrate. Namun, General Customs of China mencatat pada 2020 ada 3,4 juta ton impor dari Indonesia.
Faisal mengatakan volume ekspor nikel ore pada tahun lalu itu bahkan melampaui catatan perdagangan pada 2014. Berdasarkan data General Customs Administration of China, nilai transaksi ekspor nikel pada tahun lalu menembus 193,6 juta dolar AS.
Menurut Faisal, dalam perhitungan kurs Jisdor dengan asumsi nilai tukar Rp14.577 nilai ekspor nikel Indonesia ke China tahun lalu mencapai Rp2,8 triliun hingga 31 Desember. Karena hal ini, Faisal mengatakan bahwa dalam lima tahun terakhir nilai kerugian negara terus bertambah.
"Lima tahun terakhir kerugian negara itu sudah ratusan triliun rupiah. Ini aja (satu tahun) udah 2,8 ya," tuturnya dalam diskusi virtual, Selasa, 12 Oktober.
Faisal mengatakan Indonesia bisa mengantisipasi munculnya potensi kerugian dengan berbagai cara. Salah satunya adalah menghitung produksi smelter dan kebutuhan normal.
BACA JUGA:
"Nah ini mekanismenya bagaimana kalau pemerintah punya niat, gampang sebetulnya melacaknya. Jadi hitung saja produksi smelter berapa, kemudian kebutuhan normal berapa, dia beli lebih banyak nggak, dia beli untuk proses produksi atau jangan-jangan ada sebagian dijual ke luar walaupun tidak boleh, numpang aja, menunggangi," ucapnya.
Seperti diketahui, pemerintah telah melarang ekspor bijih nikel per 2 Januari 2021. Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2019 tentang larangan ekspor bijih nikel.
Adapun larangan ekspor bijih nikel sempat mendapat perlawanan dari pengusaha dalam negeri maupun mitra dagang internasional. Bahkan, Uni Eropa sempat melayangkan gugatan dan mengadukan kebijakan Pemerintah Indonesia ke World Trade Organization atau WTO.