Faisal Basri Tuding Ekspor Bijih Nikel Indonesia Bocor ke China, Ini Jawaban dari Anak Buah Sri Mulyani
Ekonom senior Indef, Faisal Basri. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menjawab tudingan Ekonom Senior Faisal Basri yang menyebut 3,4 juta ton ekspor bijih nikel dari Indonesia bocor ke China pada 2020 lalu. Padahal, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melarang ekspor bijih nikel pada saat itu.

Yustinus Prastowo, dalam cuitan di akun Twitternya menyebut, pemerintah telah memberikan klarifikasi dan data secara transparan ke publik. Data tersebut merujuk pada catatan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu yang mengaku bahwa memang ada ekspor bijih nikel sebanyak 3,6 ton pada 2020e, di mana pada tahun ini ada sekitar 1 ton.

"Bahwa tahun 2020 tidak ada ekspor komersial, tetapi pengiriman sampel via pesawat sebanyak 3,6 ton," ungkap Yustinus, dikutip Rabu 20 Oktober.

Yustinus pun tidak membenarkan tudingan Faisal yang menyebut ada 3,4 juta ton ekspor bijih nikel ke China pada 2020. Ia memastikan Pemerintah Indonesia akan berkoordinasi dengan Pemerintah China untuk mengusut tudingan tersebut.

"Namun, pemerintah melalui @beacukaiRI akan terus berkoordinasi dengan Otoritas Kepabeanan China untuk mendalami informasi ini," imbuh anak buah Sri Mulyani ini.

Yustinus juga sepakat bahwa kebocoran ekspor bijih nikel tidak boleh terjadi. Pasalnya, pemerintah telah berkomitmen untuk melarang ekspor mineral mentah dan ingin melakukan hilirisasi di dalam negeri.

"Setelah ada larangan, mustinya tidak boleh ada yang melakukan ekspor untuk keperluan komersial," kata Yustinus.

Sebelumnya, ekonom senior Indef dan Universitas Indonesia, Faisal Basri mengatakan ada 3,4 juta ton ekspor bijih nikel Indonesia yang bocor ke China. Data ini, katanya, tercatat di General Customs Administration of China (GCAC).

"GCAC pada 2020 mencatat masih ada 3,4 juta ton impor dari Indonesia dengan nilai jauh lebih tinggi dari 2014, yakni US$193,6 juta atau Rp2,8 triliun, lebih tinggi dari 2019," ujar Faisal.

Menurut Faisal, kebocoran ini memberikan kerugian ratusan triliun bagi Indonesia. Sebab, kebocoran bukan terjadi kali ini saja, melainkan sudah lima tahun terakhir.