Faisal Basri: Hilirisasi Industri Nikel seperti Pembuatan Baterai Kendaraan Listrik Hanya Untungkan China
Ekonom senior Indef, Faisal Basri. (Foto: Dok. Kemenkominfo)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah terus mendorong hilirisasi industri untuk mempercepat transformasi ekonomi. Semua komoditas yang ada didorong untuk hilirisasi, salah satunya adalah nikel.

Namun sayang, Ekonom senior Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri menilai upaya pemerintah mendorong hilirisasi industri nikel masih belum berjalan optimal dan justru menguntungkan pihak lain yakni China.

Faisal mengatakan bahwa potensi cadangan nikel Indonesia yang tergolong besar, belum memberikan dampak pada perekonomian nasional. Bahkan, masih banyak kekurangan dalam peta jalan hilirisasi industri nikel.

"Hilirisasi bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah nasional, sebagian besar adalah feronikel dan nickel pig iron (NPI) yang nilai tambahnya masih rendah sekali kira-kira 25 persen," katanya dalam diskusi virtual, Selasa, 13 Oktober.

Menurut Faisal, hilirisasi yang dilakukan pemerintah dengan membangun baterai untuk mobil listrik, bahkan memproduksi mobilnya di Indonesia akhirnya hanya mendukung industrialisasi di China. Faisal mengatakan bahwa yang mendapat keuntungan besar dari hilirisasi industri nikel bukan Indonesia, tapi China.

"Hilirisasi sebatas mengolah bahan baku yang sejauh ini baru 25 persen. Digadang-gadang bakal menghasilkan baterai untuk mobil listrik, bahkan mobil listriknya sekalipun akan diproduksi. Hebat indonesia. Tak peduli produk hilirisasinya bakal dieskpor masa bodo. Terutama ke China," katanya.

"Jadi hilirisasi untuk mendukung industrialisasi di China dan berikan keuntungan yang setinggi-tingginya untuk mereka," sambungnya.

Di samping itu, Faisal mengatakan bahwa investor dari China juga akan mendapat keuntungan besar dengan menanam modal di Indonesia. Sebab, mereka mendapat nikel dengan harga yang murah.

Merujuk data yang ada, pada semester I 2021, harga nikel kadar 1,8 persen dalam Shanghai Metal Market (SMM) dipatok sebesar 79,61 dolar AS per ton. Namun, harga HPM tidak mencapai setengahnya atau hanya ada di kisaran 38,19 dolar AS per ton.

Menurut Faisal, penerapan harga memang tidak harus dengan besaran yang sama dengan harga internasional. Meski begitu setidaknya pemerintah perlu melakukan penyesuaian harga setidaknya ada di kisaran 50 hingga 60 dolar per ton.

"Kalau kita hitung-hitung, pemerintah sengaja menetapkan harga murah supaya pemerintah dapat jatahnya PNBP-nya sedikit," tuturnya.