Menteri Ekonomi Jokowi Kompak Bantah Faisal Basri Soal Hilirisasi Nikel, Ini Katanya
Ilustrasi nikel (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Pernyataan Ekonom Senior Institute for Development of Economic Finance (Indef) Faisal Basri yang menyebut hilirisasi nikel hanya menguntungkan industrialisasi China dibantah oleh Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani. Dua menteri tersebut membantah tudingan Faisal melalui orang kepercayaan masing-masing.

Staf Khusus Menkeu Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo dengan tegas membantah tudingan Faisal ihwal smelter nikel China tidak dikenai pungutan pajak. Sebab, lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2022, pemerintah telah mengatur tarif PNBP sumber daya alam dan royalti atas nikel serta produk pemurniannya.

"Bang Faisal Basri yang baik, saya jawab satu hal dulu soal PNBP dan royalti. Anda keliru ketika bilang tidak ada pungutan karena faktanya melalui PP 26/2022 diatur tarif PNBP SDA dan royalti atas nikel dan produk pemurnian," ujarnya dikutip Selasa, 15 Agustus.

Menurut Yustinus, pengelolaan mineral diarahkan untuk mendukung hilirisasi sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba. Melalui kebijakan ini pemerintah telah melakukan dua hal. Pertama, melakukan pelarangan ekspor bijih nikel sejak 2020.

Kemudian, memberlakukan tarif royalti yang berbeda bagi para pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), antara yang hanya memproduksi atau menjual bijih nikel dengan perusahaan yang juga memiliki smelter. Tarif royalti untuk bijih nikel 10 persen dan tarif untuk Feri Nikel atau Nikel Matte sebesar 2 persen.

“Royalti memang pungutan yang secara konsep dan aturan dikenakan thd eksploitasi sumber daya alam. Ini berlaku umum. Utk Izin Usaha Industri pungutannya tentu bukan royalti, melainkan bea keluar (saat impor) dan pajak-pajak lain (PPh, PPN, Pajak Daerah dll),” tuturnya.

Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto turut membantah tudingan Faisal Basri yang menyebut smelter China tidak dikenai pajak. Seto menegaskan, pernyataan itu menunjukan bahwa Faisal tidak memahami aturan tax holiday sehingga sampai pada kesimpulan yang salah.

“Disini Faisal Basri tidak memahami ketentuan tax holiday di Indonesia sehingga mencapai kesimpulan yang salah. Tax holiday 20 tahun diberikan dengan investasi sebesar Rp30 triliun atau lebih. Jika kurang dari itu maka akan menyesuaikan periodenya, antara 5-15 tahun. Insentif tax holiday ini hanya untuk PPh Badan, pajak-pajak lainnya tetap harus dibayar,” katanya.

Seto menambahkan, penerimaan pajak tahun dari sektor hilirisasi nikel pada 2022 sebesar Rp17,96 triliun atau naik sebesar 10,8 kali lipat dibandingkan 2016 yang hanya sebesar Rp1,66 triliun.

Sementara pendapatan PPh Badan di sektor ini pada 2022 sebesar Rp7,36 triliun atau naik 21,6 kali lipat dibandingkan 2016 yang hanya sebesar Rp340 miliar.

“Analisis yang disampaikan Faisal Basri dalam menyanggah statement Presiden Jokowi terkait dengan perpajakan ini juga salah. Dari data di atas, telah terjadi peningkatan pajak yang cukup signifikan dari sektor hilirisasi ini,” kata Seto.

“Perlu dicatat pula bahwa penerimaan perpajakan dari sektor hilirisasi nikel ini, belum memasukkan pendapatan pajak dari sektor lain yang ikut tumbuh akibat hilirisasi nikel ini seperti pelabuhan, steel rolling, jasa konstruksi, industri makanan dan minuman dan akomodasi,” sambungnya.

Seto juga menyanggah tudingan Faisal yang menyebut 90 persen keuntungan hilirisasi nikel hanya dinikmati China. Faisal berargumen bahwa Indonesia hanya memproses bijih nikel menjadi nikel pig iron (NPI) atau feronikel yang 99 persen hasilnya akan diekspor ke China.

Seharusnya, lanjut Seto, Faisal menghitung seberapa besar sumber daya yang dikeluarkan tiap smelter dalam memproduksi feronikel. Sumber daya untuk produksi nikel ini meliputi tenaga kerja, teknologi, listrik dan bahan baku lainnya.

Berdasarkan analisis Seto, dari 100 persen nilai produk smelter, kontribusi bijih nikel adalah 40 persen, 12 persen laba operasi yang bisa dinikmati investor dan 48 persen adalah sumber daya tambahan yang perlu dikeluarkan untuk mengolah bijih nikel tersebut.

“Dari 48 persen angka tersebut, 32 persen dinikmati oleh para pelaku ekonomi di dalam negeri dalam bentuk batubara (untuk listrik), tenaga kerja, dan bahan baku lain sehingga hanya 16 persen yang dinikmati oleh pihak supplier dari LN (luar negeri),” ucapnya.

Berdasarkan hitungan tersebut, Seto meyakini nilai tambah yang dinikmati oleh pihak investor dan supplier hanya sebesar 16 persen ditambah komponen laba operasi 12 persen sehingga menjadi 28 persen.

Sementara, nilai tambah yang dinikmati oleh dalam negeri adalah 32 persen atau secara proporsi mencerminkan sekitar 53 persen dari seluruh nilai tambah hilirisasi nikel.

“Nilai tambah dalam negeri akan lebih besar jika pihak investor asing tersebut melakukan reinvestasi di dalam negeri, sudah tidak mendapatkan tax holiday, atau bahkan ada keterlibatan investor lokal, seperti Harum Energy, Trimegah Bangun Persada dan Merdeka Battery Materials,” tutup Seto.