Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) ikut buka suara soal kritik ekonom Faisal Basri yang menyebut hilirisasi nikel yang dilakukan Indonesia hanya menguntungkan China saja.

Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif meminta publik untuk melihat hilirisasi dari nilai tambah ekonominya, dan bukan dari kepemilikan atau ownership.

"Hilirisasi jangan dilihat dari ownership smelter, baik itu PMA atau PMDN, tetapi lebih ke arah pendekatan nilai tambah ekonomi, sehingga benefit (manfaat) yang dirasakan dengan berjalannya hilirisasi memberikan nilai nyata bagi pembangunan nasional," kata Febri melalui keterangan tertulis yang diterima VOI, dikutip Senin, 14 Agustus.

Terkait hal tersebut, Febri mengatakan, sejak bergulirnya program hilirisasi sumber daya alam, terutama logam nikel di Indonesia, beberapa multiplier effect mulai terlihat pada ekonomi nasional.

Berdasarkan data Kemenperin, terdapat 34 smelter yang sudah beroperasi dan 17 smelter yang tengah konstruksi. Investasi yang telah tertanam di Indonesia mencapai sebesar 11 miliar dolar AS atau sekitar Rp165 triliun untuk smelter Pyrometalurgi, serta sebesar 2,8 miliar dolar AS atau berkisar Rp40 triliun untuk tiga smelter Hydrometalurgi yang akan memproduksi MHP (Mix Hydro Precipitate) sebagai bahan baku baterai.

Febri menambahkan, selama masa konstruksi, kehadiran smelter tersebut menyerap produk lokal. Saat ini, smelter tersebut mempekerjakan sekitar 120 ribu orang tenaga kerja.

Serapan tenaga kerja itu terjadi di sejumlah smelter yang tersebar di berbagai provinsi, yakni Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, serta Banten.

"Hal ini mendorong pertumbuhan perekonomian di daerah tersebut dengan meningkatnya PDRB di daerah lokasi smelter berada," ucapnya.

Besarnya dampak berganda (multiplier effect) smelter nikel ini dapat dilihat dari nilai tambahnya. Kemenperin menghitung nilai tambah yang dihasilkan dari nikel ore hingga produk hilir meningkat berkali-kali lipat jika diproses di dalam negeri atau menghilirkan proses barang mentah.

Menurut Febri, apabila nilai nikel ore mentah dihargai 30 dolar AS per ton, ketika menjadi Nikel Pig Iron (NPI) harganya akan naik 3,3 kali mencapai USD90 dolar AS per ton. Sedangkan, bila menjadi Ferronikel, akan naik 6,76 kali atau setara 203 dolar AS per ton.

Ketika hilirisasi berlanjut dengan menghasilkan Nikel Matte, nilai tambahnya juga akan naik menjadi 43,9 kali atau mencapai 3.117 dolar AS per ton. Terlebih, kata Febri, sekarang Indonesia sudah punya smelter yang menjadikan MHP sebagai bahan baku baterai dengan nilai tambah sekitar 120,94 kali atau 3.628 dolar AS per ton.

"Apalagi, jika ada ada pabrik baterai yang mengubah ore menjadi LiNiMnCo, nilai tambahnya bisa mencapai 642 kali lipat," ucap dia.

Hal ini tentu akan menambah pemasukan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pajak-pajak lain yang nilainya triliunan rupiah.

"Dari sini saja sudah terbukti, seperti yang disampaikan Bapak Presiden (Jokowi) jika kami mengekspor bahan mentah, angkanya Rp17 triliun, dibandingkan dengan ekspor produk hasil hilirisasi nikel yang mencapai Rp510 triliun. Sehingga, penerimaan negara dari pajak akan jauh lebih meningkat," ungkapnya.

Melihat performa kontribusi logam dasar ke ekonomi, Febri menjelaskan, PDB logam dasar di triwulan I-2023 tumbuh sebesar 11,39 persen. Hingga semester I-2023 ini, logam dasar mencatatkan PDB sebesar Rp66,8 triliun.

Adapun selama periode 2022, subsektor ini tumbuh di atas 15 persen dengan nilai Rp124,29 triliun, juga di 2021 tumbuh double digit setara Rp108,27 triliun. Bahkan, di 2020 yang penuh tekanan akibat pandemi COVID-19, industri logam tetap menunjukkan kinerja positifnya

"Indikator ini sangat jelas menunjukkan bahwa benefit smelter memberi manfaat bagi ekonomi nasional, bukan untuk negara lain. Hadirnya PMA merupakan pengungkit investasi untuk pertumbuhan ekonomi nasional," imbuh Febri.

Diketahui, Ekonom Senior INDEF Faisal Basri menjawab sanggahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia hanya menguntungkan China. Sebelumnya, Presiden Jokowi menyebut jika hilirisasi memberikan nilai tambah ke Tanah Air hingga mencapai Rp510 triliun.

Dikutip dari blog pribadinya, Faisal Basri menyebut jika angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya.

"Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China," lanjut Faisal dalam blognya yang dikutip Senin, 14 Agustus.

Faisal merinci, jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel kode HS 2604 tercatat hanya Rp1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai 85,913 juta dolar AS dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama, yaitu Rp11,865 per dolar AS.

"Lalu, dari mana angka Rp510 triliun? Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja kode HS 72 yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah 27,8 miliar dolar AS. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per dolar AS, nilai ekspor besi dan baja kode HS 72 setara dengan Rp413,9 triliun," beber Faisal.

Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Presiden dan hitung-hitungannya, lanjut Faisal, memang benar adanya bahwa lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat sungguh sangat fantastis.

"Namun, apakah uang hasil ekspor mengalir ke Indonesia? Mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri," tegas Faisal.