Bagikan:

JAKARTA - Ekonom Senior Faisal Basri menilai, pemerintah terlalu fokus menjadikan Indonesia sebagai pusat nikel dunia, tetapi tidak memperhatikan kesejahteraan buruh yang bekerja di pengolahan nikel itu sendiri.

Faisal mengatakan, sering terjadi pertentangan antara buruh di Tanah Air dengan China karena adanya perbedaan budaya. Misalnya, buruh Indonesia yang bergabung dengan serikat buruh dan biasa menyampaikan protes. Namun, China tidak terbiasa dengan hal tersebut.

Hal ini, kata Faisal, yang tidak diperhitungkan oleh pemerintah.

"Mengapa terjadi pertentangan antara buruh China dan Indonesia. Di China enggak ada serikat buruh, iya kan? Di sini ada. Enggak nyambung mereka itu, yang penting kami pusat Nikel dunia saja, hanya itu," kata Faisal dalam Publikasi Kajian Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat (AERR) di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, dikutip Kamis, 26 September.

"Enggak ada Kementerian Sosial diundang, ahli Antropologi, ahli Sosiologi, enggak ada," tambahnya.

Tak hanya itu, Faisal juga mengaku kesal dengan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut nilai ekspor nikel bisa mencapai Rp510 triliun dan bisa dinikmati oleh Indonesia nantinya.

Menurut dia, hilirisasi hanya dinikmati oleh pengusaha asal China saja. Sebab, teknologi yang dipakai pun berasal dari negara itu.

"Nilai tambah itu terdiri dari keuntungan, pengusaha dapat keuntungan? Iya, pengusahanya dari China, ya, 100 persen (hasilnya) ke China, begundal-begundalnya dapat receh-receh. Teknologi dari China semua, paten fee-nya dari China semua, banknya dari China, ya, bunganya (masuk) lagi ke China," ungkapnya.

Diketahui, Ekonom Senior Faisal Basri menjawab sanggahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia hanya menguntungkan China.

Sebelumnya, Presiden Jokowi menyebut jika hilirisasi memberikan nilai tambah ke Tanah Air hingga mencapai Rp510 triliun.

Dikutip dari blog pribadinya, Faisal Basri menyebut jika angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya.

"Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China," lanjut Faisal dalam blognya yang dikutip Senin, 14 Agustus.

Faisal merinci, jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel kode HS 2604 tercatat hanya Rp1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai 85,913 juta dolar AS dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama, yaitu Rp11,865 per dolar AS.

"Lalu, dari mana angka Rp510 triliun? Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja kode HS 72 yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah 27,8 miliar dolar AS. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per dolar AS, nilai ekspor besi dan baja kode HS 72 setara dengan Rp413,9 triliun," beber Faisal.

Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan presiden dan hitung-hitungannya, lanjut Faisal, memang benar adanya bahwa lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat sungguh sangat fantastis.

"Namun, apakah uang hasil ekspor mengalir ke Indonesia? Mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri," tegas Faisal.