Bagikan:

JAKARTA - Ekonom Senior INDEF Faisal Basri menjawab sanggahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia hanya menguntungkan China. Sebelumnya Presiden Jokowi menyebut jika hilirisasi memberikan nilai tambah ke Tanah Air bahkan sampai Rp510 triliun.

Dikutip dar blog pribadinya, Faisal Basri menyebut jika angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya.

"Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China," lanjut Faisal dalam blognya yang dikutip Senin 14 Agustus.

Faisal merinci, jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel kode HS 2604 tercatat hanya Rp1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai 85,913 juta dolar AS dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama yaitu Rp11,865 per dolar AS.

"Lalu, dari mana angka Rp510 triliun? Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja kode HS 72 yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah 27,8 miliar dolar AS. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per dolar AS, nilai ekspor besi dan baja kode HS 72 setara dengan Rp413,9 triliun," beber Faisal.

Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Presiden dan hitung-hitungannya, lanjut Faisal, memang benar adanya bahwa lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat sungguh sangat fantastis.

"Namun, apakah uang hasil ekspor mengalir ke Indonesia? Mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri," tegas Faisal.

"Berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan pajak ekspor atau bea keluar plus pungutan berupa bea sawit, untuk ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya. Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," kata dia.

Ia menambahkan, jika keuntungan perusahaan sawit dan olahannya dikenakan pajak keuntungan perusahaan atau pajak penghasilan badan, perusahaan smelter nikel bebas pajak keuntungan badan karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih.

"Jadi, nihil pula penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel. Perusahan-perusahaan smelter China menikmati “karpet merah” karena dianugerahi status proyek strategis nasional," lanjut Faisal.

Ia juga menuding Kementerian Keuanganlah yang pada mulanya memberikan fasilitas luar biasa ini dan belakangan lewat Peraturan Pemerintah dilimpahkan kepada BKPM.

Lebih jauh Faisal juga mempertanyakan apakah perusahaan smelter China tidak membayar royalti? Faisal dengan tegas menyebutkan hal itu samasekali tidak terjadi.

Pasalnya yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional. Ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor.

Dukung Industrialisasi, Tolak Hilirisasi

Dalam tulisannya, Faisal menyatakandukungannya untuk industrialisasi, tetapi menolak mentah-mentah kebijakan hilirisasi nikel dalam bentuknya yang berlaku sekarang.

Menurut dia hilirisasi ugal-ugalan seperti yang diterapkan untuk nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional. Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia.

"Kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa. Namun, justru peranan sektor industri manufaktur terus menurun, dari 21.1 persen tahun 2014 menjadi hanya 18,3 persen tahun 2022, titik terendah sejak 33 tahun terakhir," beber Faisal.

Selain itu, menurut Faisal keberadaan smelter nikel juga tidak memperdalam struktur industri nasional. Jangan membayangkan produk smelter dalam bentuk besi dan baja yang langsung bisa dipakai untuk industri otomotif, pesawat terbang, kapal, bahkan untuk industri peralatan rumah tangga seperti panci, sendok, garpu, dan pisau sekalipun.

Kemudian produk besi dan baja yang diproduksi dan diekspor terdiri dari banyak jenis. Sementara menurut Faisal, yang dikatakan oleh Presiden adalah produk induknya atau produk di kelompok kode HS 72.

Faisal bilang, tidak ada yang meragukan bahwa smelter nikel menciptakan nilai tambah, namun yang tetap menikmatinya adalah pihak China dan yang mebgalir ke Indonesia hanya 10 persen.

"Begini hitung-hitungannya. Nilai tambah smelter = produk smelter – bijih nikel. Nilai tambah dinikmati pengusaha berupa laba, pemodal dalam bentuk bunga, pekerja dalam bentuk upah, pemilik lahan dalam bentuk sewa," ujar Faisal.

Sementara hampir semua smelter nikel milik pengusaha China. Karena dapat fasilitas tax holiday, tak satu persen pun keuntungan itu mengalir ke Tanah Air.

Ia juga menyinggung banyaknya tenaga kerja China yang dilibatkan di smelter. Menurut dia banyak di antara mereka yang bukan tenaga ahli, di antaranya juru masak, satpam, tenaga statistik, dan sopir.

Kebanyakan tenaga kerja China menggunakan visa kunjungan, bukan visa pekerja. Akibatnya muncul kerugian negara dalam bentuk iuran tenaga kerja sebesar 100 dolar AS per pekerja per bulan.

"Banyak tenaga kerja China di smelter. Salah satu perusahaan smelter China membayar gaji antara Rp17 juta hingga Rp54 juta sedangkan rata-rata pekerja Indonesia hanya digaji jauh lebih rendah atau di kisaran upah minimum," beber Faisal.

Dengan memegang status visa kunjungan, kata dia, sangat boleh jadi pekerja-pekerja China tidak membayar pajak penghasilan. Perusahaan smelter memang membayar pajak bumi dan bangunan namun nilainya amatlah kecil.

"Jadi nyata-nyata sebagian besar nilai tambah dinikmati perusahaan China," imbuh Faisal.

Nilai tambah yang dinikmati perusahaan smelter China semakin besar karena mereka membeli bijih nikel dengan harga super murah. Pemerintah sangat bermurah hati menetapkan harga bijih nikel jauh lebih rendah dari harga internasional.

"Bapak Presiden, maaf kalau saya katakan bahwa Bapak berulang kali menyampaikan fakta yang menyesatkan," pungkas Faisal.