Tak Becus Tangani COVID-19, Faisal Basri: Indonesia Sedang Dihukum Dunia
Ekonom senior Indef, Faisal Basri. (Foto: Kemenkominfo)

Bagikan:

JAKARTA - Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri menilai, pertumbuhan ekonomi Indonesia mustahil untuk bisa tumbuh, jika penanganan COVID-19 belum bisa tertangani dengan baik. Bahkan, kasus penularan COVID-19 di Tanah Air terus melonjak menyentuh 3.000 dalam waktu 24 jam.

Menurut Faisal, Indonesia perlu belajar dari Selandia Baru, Finlandia, Singapura, Malaysia, dan Thailand yang tidak mengutamakan ekonomi, tetapi pada penanganan COVID-19. Terbukti, langkah ini justru membuat negara-negara tersebut bisa dengan cepat memulihkan ekonomi.

Seperti diketahui, Finlandia, Singapura, dan Malaysia telah resmi menjadi negara yang masuk jurang resesi di tahun 2020. Namun, karena penanganan COVID-19 baik di negara tersebut, para turis mancanegara, yang berpotensi menghasilkan devisa sudah boleh masuk kembali ke negara mereka.

Tetapi, kata Faisal, Indonesia masih masuk dalam daftar yang tak diizinkan untuk berkunjung. Hal ini karena penanganan pandemi COVID-19 di Tanah Air tergolong buruk di banding negara lain.

"Indonesia tidak boleh masuk, masih di-blacklist karena reputasi menangani COVID-19 buruk ke empat di dunia. Sadar tidak sadar, kita sedang dihukum dunia. Gara-gara tidak becus menangani pandemi ini," ucapnya, rapat dengar pendapat bersama Komisi VI, di Gedung DPR, Jakarta, Senin, 31 Agustus.

Bahkan, Faisal mengatakan, angka kematian akibat COVID-19 di Indonesia tidak mengikuti standar WHO. Menurut dia, data yang ditunjukan oleh pemerintah tidak kredibel.

Di sisi lain, Faisal mengatakan, beberapa negara juga memiliki kasus penularan COVID-19 tinggi namun bisa membuka pintu masuk untuk wisatawan mancanegara. Misalnya, Saudi Arabia dan Spanyol.

"Oke ada negara seperti Italia, kasus masih naik Spanyol tapi terkendali. Dia sudah bisa buka (pariwisata) namun syaratanya adalah testing-nya diperbanyak. Saudi Arabia kasus naik terus, testing diperbanyak. Israel dibuka juga ekonominya tapi testing diperbanyak jadi mereka bisa lebih banyak, jadi langsung isolasi," ucap ekonom INDEF ini

BACA JUGA:


- https://voi.id/berita/12577/faisal-basri-strategi-pemerintah-tangani-penyebaran-covid-19-hanya-menunggu-vaksin-datang

- https://voi.id/berita/9791/erick-thohir-pimpin-tim-penanganan-covid-19-faisal-basri-mengurus-bumn-saja-tak-bisa

- https://voi.id/berita/10692/faisal-basri-pemerintah-jangan-prioritaskan-pemulihan-ekonomi-saja-contohlah-saat-penanganan-tsunami-aceh

[/see_also

Sementara di Indonesia, kata Faisal, kasus masih tinggi, dan pariwisata sudah dibuka meskipun belum untuk wisatawan mancanegara, tetapi Indonesia tidak melakukan testing secara masif.

"Kita enggak ada strategi testing, Sabtu Minggu libur juga testing sedikit, sedangkan Sabtu Minggu virus enggak libur," ucapnya.

Menurut Faisal, untuk melakukan testing yang masif dibutuhkan 200 ribu sukarwelawan. Ia mengatakan, pemerintah dapat memanfaatkan badan pusat statistik (BPS). Karena lembaga tersebut sedang melakukan sensus.

"Percaya lah semua ekonom itu katakan ya kesehatan dulu. Tidak mungkin kayak sekarang aja deh kantor banyak yang ditutup. Bantu perusahaan padat karya testing. BUMN kenapa sekarang disuruh bisnis? di seluruh negara ini testing itu gratis. Saya bayar Rp1,7 juta karena saya di Universitas," ucapnya.

Faisal menilai pemerintah saat ini tidak mempunyai strategi untuk menghadapi pandemi COVID-19. Terlebih, fokusnya hanya pada sektor perekonomian.

"Gas rem, gas rem, itu artinya enggak ada strategi, itu trial dan error. Pokoknya buka dulu, nanti kalau banyak rem. Masyaallah, itu nyawa manusia," katanya.