JAKARTA - Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri mengaku cemas terkait dengan penanganan COVID-19 di Tanah Air. Pasalnya, pemerintah hanya berfokus pada pemulihan ekonomi tanpa memedulikan angka kasus penularan yang semakin tinggi setiap harinya.
Faisal mengatakan, mustahil perekonomian di Indonesia dapat pulih, kalau penularan kasus COVID-19 terus bertambah. Ia mengatakan, kunci untuk menggerakkan aktivitas ekonomi adalah dengan meningkatkan tes COVID-19 ke seluruh masyarakat di Indonesia.
"Saya takut respons pemerintah itu makin tidak peduli dengan COVID-19, (hanya) peduli dengan pemulihan ekonomi yang tercermin di dalam Perpres nomor 82 tahun 2020," katanya, dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VI, di Gedung DPR, Jakarta, Senin, 31 Agustus.
Di dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, kata Faisal, unsur kesehatan di dalamnya hanya satu, yakni Kementerian Kesehatan. Selebihnya ekonomi dan politik pertahanan.
Melihat struktur pada Komite Penangan COVID-19 dan PEN, terlihat Indonesia hanya lebih condong untuk memulihkan perekonomian saja. Sedangkan, masalah kesehatan tak menjadi fokus utama.
"Kalau dulu gugus tugas di bawah presiden sekarang di bawah Menteri BUMN Erick Thohir. Betul-betul penanganan virus ini lebih ke arah ekonomi," ucap ekonom INDEF ini.
Bergantung pada Vaksin
Faisal menyayangkan, dalam penanganan kesehatan COVID-19 pemerintah hanya menunggu vaksin ditemukan. Tanpa melakukan strategi untuk meredam angka penularan yang terus meningkat.
BACA JUGA:
"Narasinya yang selalu disampaikan oleh ketua pelaksana adalah sekarang nunggu vaksin. Jadi sebelum vaksin datang kita tidak tahu apa yang dilakukan pemerintah, tidak ada strategi. Hanya menunggu vaksin saja. Dan vaksin ini belum tentu mujarab," katanya.
Padahal, kata Faisal, apabila kasus penularan COVID-19 turun, maka otomatis pertumbuhan ekonomi akan naik. Karena itu, fokus utama harusnya ada pada sektor kesehatan.
"Kita harus kendalikan penularan kasus dulu, baru ekonomi bisa naik. Kalau kasus sudah turun, otomatis pertumbuhan ekonomi tanpa disuruh pun akan naik," ucapnya.
Di samping itu, Faisal menilai, langkah pemerintah kalah cepat dari penularan COVID-19. Sebab, jumlah tes COVID-19 baik rapid test maupun PCR secara massal masih sangat sedikit jika dibandingkan negara lain. Misalnya dibandingkan negara Singapura dan Malaysia yang telah mulai transparan dengan melakukan tes secara massal setiap hari.
"Coba lihat sekarang Singapura dan Malaysia kasusnya sudah sangat rendah, dia melakukan testing terus. India yang penduduknya miliaran, per hari testing itu 1 juta. Kita 20.000 juga hampir enggak pernah," katanya.