JAKARTA - Ekonom senior Faisal Basri mengatakan tingginya kasus aktif COVID-19 di Indonesia tidak terlepas dari cara pemerintah meresponsnya. Selama ini, langkah kunci yang tidak dilakukan pemerintah dalam penanganan COVID-19 adalah testing.
"Kunci yang tidak dilakukan sampai sekarang adalah testing. Akibatnya fatality rate-nya juga tinggi. Sebelum testing fatality rate tinggi, Indonesia tertinggi di ASEAN. Nomor 2 di Asia dan lebih tinggi dari rerata dunia yaitu 2,35, Indonesia 3,18," katanya, dalam diskusi virtual, Kamis, 26 November.
Faisal menyayangkan jumlah testing tidak bergerak, masih di kisaran 2.000 per 1 juta penduduk. Bahkan, katanya, dalam pengenaan pandemi COVID-19 khususnya testing, Indonesia hanya lebih baik dari 12 negara di Afrika, dan tiga negara di Asia yaitu Myanmar, Afghanistan dan Bangladesh.
"Itu saja yang lebih rendah dari kita. Semua negara yang testing-nya lebih kecil dari Indonesia adalah yang low income dan lower income," tuturnya.
Namun, kata Faisal ada lima negara dengan status lower income countries yang lebih miskin dari Indonesia, tetapi testing-nya jauh lebih besar. Contohnya Nepal dengan total 57 ribu, dan Filipina 50 ribu. Sementara Indonesia baru mencapai 19 ribu.
BACA JUGA:
"Lantas mau jump ke vaksin gitu? Vaksinnya belum teruji seperti Pfizer dan Moderna, belum teruji efektivitasnya berapa, tapi sudah dipesan. Implementasinya susah nanti bagimana cara pengirimannya, belum jelas benar," tuturnya.
Faisal mengatakan, pemerintah tidak hanya bisa mengandalkan vaksin untuk menangani pandemi COVID-19, tanpa melakukan langkah antisipasi lain.
"Jadi berat kita untuk membayangkan kalau sudah jump ke vaksin kemudian tidak melakukan apa-apa. Ini kemudian yang menjadi konsen saya," tuturnya.