Bagikan:

JAKARTA - Ekonom Senior Faisal Basri menilai penggunaan utang pemerintah selama era Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat boros. Dia mengatakan, utang pemerintah ini juga tidak efektif, karena tak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan.

Jika dibandingkan dengan era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kata Faisal, pertumbuhan ekonomi belum pernah tembus ke angka 6 persen. Pertumbuhan ekonomi era Jokowi stagnan di kisaran 5 persen. Padahal, utang terus membengkak. 

"Utang naik, pertumbuhan ekonomi turun. Berarti ada masalah penggunaan utang. Penggunaan utang tidak efektif," ujarnya, dalam diskusi virtual, Kamis, 13 Agustus.

Faisal mengatakan, pemerintah terus menambah utang karena membutuhkan banyak dana untuk membangun infrastruktur di dalam negeri. Namun, efeknya dari pembangunan infastruktur ini minim terhadap ekonomi nasional.

"Pemerintah boros, makanya butuh utang banyak. Kalau tidak boros, tidak butuh utang banyak," katanya.

Lebih lanjut, Faisal mengatakan, pemerintah saat ini membutuhkan dana lebih besar dari era presiden sebelumnya untuk membangun jalan per 1 kilometer (km). Hal ini terlihat dari incremental capital output ratio (ICOR) atau rasio investasi terhadap pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi.

Sebagai informasi, ICOR bisa digunakan untuk mengukur seberapa besar investasi yang diperlukan untuk meningkatkan satu unit output atau produk domestik bruto (PDB). Jika ICOR 5, artinya setiap penambahan PDB Rp1 dibutuhkan investasi tambahan sebesar Rp5.

"Yang nyata di era Jokowi untuk pembangunan semakin boros. Dalam bentuk ICOR misalnya, ICOR 6,5. Jadi untuk menambah 1 km jalan butuh Rp6,5 unit nmodal. Saat orde baru rata-rata ICOR 4,3. Jadi era Jokowi dibutuhkan 50 persen modal tambahan. Modal tambahan itu dari utang. Makanya utang kurang optimal," tuturnya.

Faisal mengjelaskan, utang itu bukan sekadar utang. Tetapi memiliki peranan integral dari kebijakan fiskal. Karana itu, dia mengingatkan, ketika nanti pertumbuhan ekonomi bagus, penerimaan pajak tinggi bukan berarti pemerintah tidak boleh berutang baru. Sebab, setiap negara pasti memiliki utang. 

Menurut Faisal, sekelas Arab Saudi pun pemerintahnya juga berutang. Hal yang sama juga dilakukan oleh pemerintah Jerman, di mana pemerintahnya masih terus mengeluarkan utang dengan bunga rendah untuk membayar utang sebelumnya.

"Pemerintah Jerman masih terus mengeluarkan utang. Tetapi dia di-profiling, jadi dia berutang dengan bunga yang lebih murah dengan beban yang lebih murah untuk membiayai utang sebelumnya. Ditarik dibeli oleh pemerintah dari pasar, karena bunganya tinggi jadi kembali. Suatu ketika kita tidak akan berutang, utang kita akan nol. Tidak utang itu instrumen inheren dari kebijakan fiskal," jelansnya.

Saat ini, kata Faisal, ada yang salah dari pengelolaan utang pemerintah. Sebab, harus diakui Indonesia lebih besar pasak daripada tiang. Seharunya, penggunaan utang harus menguntungkan. 

"Jepang itu berutang. Fiskalnya lebih besar pasak daripada tiang, tapi di ternyata surplus, di investasinya dia surplus. Nah kalau kita triple defisit, investasi kita lebih besar dari saving, impor kita lebih besar dari ekspor. Kemudian penerimaan negara lebih kecil dari pengeluaran negara. Jadi lahir batin totalitas kita ini lebih besar pasak daripada tiang," ucapnya.

Sementara itu, Anggota Komisi XI Ecky Mucharam meminta, agar pemerintah jangan membebani utang kepada anak cucu melebihi kapasitas fiskal. Beban utang ini tidak hanya menyulitkan secara finansial tetapi juga emosional.

"Artinya ketika ada utang mencapai Rp20 juta per warga negara Indonesia, tanpa adanya peningkatan pendapatan penduduk yang minim menengah ke bawah itu kan terbebani secara emosional maupun secara beban negara," tuturnya.

Utang Pilihan Pahit

Staf Khusus Kementerian Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan utang merupakan pilihan pahit pemerintah. Berutang merupakan satu-satunya jalan bagi pemerintah untuk tetap menggerakkan roda perekonomian di tengah pandemi COVID-19.

Gedung-gedung pencakar langit di Jakarta (Foto tim produksi VOI)

"Di masa pandemi tidak banyak pilihan. Kalau pun utang, itu pilihan pahit," ujar Yustinus.

Pandemi COVID-19 menyerang optimisme yang sedang dibangun pemerintah pada awal tahun. Yustinus mengatakan, wabah ini membuat ekonomi lumpuh, sehingga pemerintah harus mencari akal untuk mengobatinya.

"Ekonomi turun, pajak turun. Sekarang saat pandemi kebutuhan belanja meningkat untuk sosial. Pajak tidak bisa diandalkan, jadi utang," jelasnya.

Meskipun begitu, Yustinus sadar pengelolaan utang harus tetap hati-hati. Sebab, penggunaannya tetap harus dipertanggugjawabkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Sekadar informasi, berdasarkan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kita, posisi utang pemerintah pada akhir Juni 2020 sebesar Rp5.264 triliun. Jumlahnya naik 15,2 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp4.570 triliun.

Sementara, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi paling tinggi di era Jokowi terjadi pada 2018, yakni 5,17 persen. Pada tahun pertama menjabat atau 2014, laju ekonomi nasional adalah 5,02 persen.

Kemudian, ekonomi domestik pada 2015 turun menjadi 4,79 persen, lalu 2016 kembali naik menjadi 5,02, dan 2017 kembali tumbuh menjadi 5,07 persen. Selanjutnya, ekonomi pada 2019 kembali ke level 5,02 persen pada 2020.

Pertumbuhan ekonomi pun semakin anjlok akibat pandemi COVID-19. Pada kuartal I 2020 ekonomi turun drastis menjadi 2,97 persen. Sedangkan pada kuartal II 2020 minus 5,32 persen.