Bagikan:

JAKARTA - Saiful Munjani Research and Consulting (SMRC) merilis hasil survei mengenai kondisi ekonomi di masa pandemi COVID-19. Survei ini dilakukan pada periode 18-20 Juni 2020 kepada 1.978 responden. 

Survei dilakukan dengan menghubungi responden via telepon. Responden ini merupakan masyarakat yang telah disurvei pada periode sebelumnya. Margin of error dalam survei ini sebesar 2,2 persen dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen.

Hasilnya, sebanyak 71 persen responden kondisi perekonomiannya lebih buruk dibanding sebelum adanya pandemi COVID-19, dengan rincian 62 persen menganggap lebih buruk dan 9 persen menganggap jauh lebih buruk.

"Tapi, periode sekarang terjadi perubahan ke arah positif, pada 20-22 Mei, di mana persentase masyarakat yang menyebut lebih buruk 83 persen. Sekarang, persentase buruknya menurun," kata Direktur Komunikasi SMRC Ade Armando dalam rilis survei SMRC secara virtual, Kamis, 25 Juni. 

Sisanya, 9 persen masyarakat masih menganggap kondisi ekonominya menjadi lebih baik. Kemudian 1 persen menyebut tidak tahu atau tidak menjawab.

Selain itu, penilaian atas kondisi ekonomi nasional juga sangat buruk. Sekitar 85% merasa keadaan ekonomi nasional sekarang lebih buruk dibanding tahun lalu. 

Pelemahan ekonomi terjadi sebelum wabah masuk ke Indoneisa

Menanggapi hal ini, mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menjelaskan, pertumbuhan ekonomi nasional sejak awal Januari sebenarnya sudah menurun. Padahal, saat itu belum ada kasus COVID-19 di Indonesia. 

"Berdasarkan data BPS, ekonomi kita pada quarter (Januari-Maret 2020) sebesar 2,97%. Secara logika, ekonomi kita Januari kan tidak terpengaruh COVID-19. Harusnya, pertumbuhan ekonominya normal sebesar 5 persen," tutur Chatib. 

Pandangan Chatib, rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional di awal tahun menurun karena anjloknya sektor ekspor-impor. Sebab saat itu wabah COVID-19 telah terjadi di beberapa negara lain.

Kemudian, mulai Maret dan April, lemahnya kondisi ekonomi baru dirasakan langsung oleh masyarakat, terutama yang bergerak di sektor informal. Sebab, pemerintah telah melakukan pembatasan seperti menutup kegiatan usaha dan penerapan jaga jarak aman. 

"Cerminan Maret ini berdampak di Mei-Juni karena dampak social distancing yang mulai terjadi pada Maret," ucap dia.

Sementara, menurut dia, 9 persen responden yang mengaku kondisi ekonominya menjadi lebih baik merupakan masyarakat yang berusaha di bidang farmasi, jasa komunikasi, dan jual-beli secara daring (online).

"Sektor tersebut bisa relatif baik. Sebab, esensi dasar ekonomi itu kan pasar. Aktivitas ekonomi jalan kalau pasar ada. Jadi, semua aktivitas ekonomi yang butuh fisik pasti collapse, kecuali pindah ke online," jelas Chatib.