JAKARTA - Ketua Umum Indonesia Anti-Doping Organization (IADO) Gatot S Dewa Broto mengatakan insiden larangan mengibarkan bendera Merah Putih saat atlet berprestasi memenangi kejuaraan dunia nyaris kembali terulang pada 2024 ini. Hal itu akibat IADO hampir kembali diganjar sanksi oleh World Anti-Doping Agency (WADA).
“Performance kami seperti tata kelola organisasi sudah bagus, cuma ada masalah regulasi yang masih dipersoalkan oleh WADA,” ujar Gatot dalam podcast EdShareOn bersama host Eddy Wijaya, yang tayang pada Rabu, 04 Desember 2024.
Mantan Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora) itu menyebutkan masalah regulasi tersebut ditemukan WADA saat mengaudit organisasi anti-doping tersebut di kantornya, yakni FX Plaza Office Tower, Jakarta pada 27 dan 28 April 2023 lalu. Salah satunya terkait penerapan World Anti-Doping Code atau Standar Internasional wajib WADA dalam kebijakan anti-doping AIDO untuk atlet Tanah Air. "Makanya kami sekarang performance-nya harus baik, karena kalau tidak, kita akan kena (sanksi)," kata Gatot.
Sanksi tersebut akhirnya urung diberikan WADA lantaran IADO langsung memfasilitasi pertemuan WADA dengan Kemenpora, Kemenkumham, dan Kemlu di Jakarta pada 21 Februari 2024. Bila saja temuan WADA tidak segera dibereskan, Gatot mengatakan sejumlah kemenangan atlet Indonesia dalam kejuaraan dunia akan kembali menjadi sorotan karena tidak diiringi pengibaran bendera Merah Putih. Sejumlah atlet yang terancam menghadapi situasi tersebut adalah Jonatan Christie dan duet Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto yang menjuarai Tunggal Putra dan Ganda Putra di All England pada 17 Maret 2024.
Begitu pula dengan Timnas Indonesia pada Piala Asia di Qatar 2024 serta sejumlah atlet yang meraih medali emas di Olimpiade Paris 2024. “Kalau saja sidang putusan WADA di Swiss, pada 12 Maret 2024 menyatakan Indonesia masih rapor merah (disanksi), tidak ada cerita Merah Putih naik di All England atau Olimpiade Paris. Dan orang pasti akan menghujat IADO,” kata Gatot.
Situasi demikian pernah dialami Indonesia pada Piala Thomas di Denmark, Oktober 2021, Anthony Sinisuka Ginting, Fajar Alfian/M Rian Ardianto, dan Jonatan Christie menerima medali di atas podium tanpa diiringi pengibaran Merah Putih. Bahkan lembaga negara tersebut diganti dengan logo Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI).
Kasus tersebut membuat kisruh di dalam negeri sehingga Lembaga Anti-Doping Indonesia (LADI) berganti nama menjadi IADO. “Itu efek karena WADA menganggap lembaga anti-doping di Indonesia buruk dan tidak perform tata kelolanya (waktu itu),” kata dia.
Gatot menjelaskan, kala itu WADA melihat buruknya tata kelola organisasi lembaga anti-doping Indonesia dari kepatuhannya atau pelaporan serta komunikasi kepada WADA yang kurang baik. “Kemudian masalah penganggarannya, status hukumnya karena belum punya SK KUMHAM, tidak ada akta notaris, serta tidak ada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART),” kata Gatot sambil mengatakan semua itu menjadi pelajaran berharga baginya sehingga IADO kini berkinerja lebih baik.
Banyak Atlet Belum Paham Soal Anti-Doping
Kepada Eddy Wijaya, Gatot S Dewa Broto merencanakan pendidikan anti-doping dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah. Menurut Gatot, banyak atlet yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang anti-doping, sehingga perlu diperkenalkan sejak dini.
“Kami wajib mengedukasi atlet untuk memastikan hal yang boleh dan dilarang dalam aturan anti-doping. Karena kalau tidak memperhatikan apa yang dikonsumsi, bisa saja besok juara dan setelahnya gelar juara dicabut kena doping,” ujar Gatot.
Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gajah Mada itu menceritakan pengalamannya bertemu atlet senior dayung yang pernah terkena sanksi doping. Sang atlet terpaksa merelakan medali, rumah, serta bonus juaranya ditarik karena belakangan terdeteksi menggunakan doping dari makanan yang dikonsumsi.
“Akhirnya kami meminta testimoninya untuk menjadi video imbauan kepada atlet muda agar berhati-hati mengkonsumsi apapun. Memang atlet itu berisiko,” kata dia.Gatot menjelaskan, untuk memasukkan pendidikan anti-doping dalam kurikulum sekolah, dibutuhkan koordinasi dengan Kementerian Pendidikan.
Ia bersyukur karena Indonesia termasuk negara yang ikut dalam penandatanganan ratifikasi tentang against doping in sports pada konvensi UNESCO. “Poin dalam ratifikasi UNESCO itu adalah semua kementerian wajib membantu pelaksanaan kegiatan anti-doping dari IADO,” ujar Gatot.
Pria kelahiran Yogyakarta, 31 Oktober 1961 itu menambahkan pendidikan anti-doping untuk atlet juga terus digalakkan. Salah satunya dengan membentuk PRESI (Presenter Edukasi) yang terdiri dari 12 orang. Para presenter dari berbagai media tersebut ditugaskan ke daerah-daerah untuk menjadi edukator anti-doping bagi para atlet. “Langkah kami ini diapresiasi oleh WADA. Dan yang menarik, PRESI satu-satunya ada di Asia Tenggara,” ucapnya.
BACA JUGA:
Siapa Eddy Wijaya Sebenarnya, Begini Profilnya
Sosok Eddy Wijaya adalah seorang podcaster kelahiran 17 Agustus 1972. Melalui akun YouTube @EdShareOn, Eddy mewawancarai banyak tokoh bangsa mulai dari pejabat negara, pakar hukum, pakar politik, politisi nasional, hingga selebritas Tanah Air. Pria dengan khas lesung pipi bagian kanan tersebut juga seorang nasionalis yang merupakan aktivis perjuangan kalangan terdiskriminasi dan pemerhati sosial dengan membantu masyarakat lewat yayasan Wijaya Peduli Bangsa.
Ia juga aktif di bidang olahraga dengan menjabat Ketua Harian Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (Pordasi) Pacu dan juga pernah menjabat Wakil Ketua Umum Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) Jakarta Timur. Gagasan-gagasannya terbentuk karena kerja kerasnya untuk mandiri sejak usia 13 tahun hingga sukses seperti sekarang. Bagi Eddy, dunia kerja tidak semulus yang dibayangkan, kegagalan dan penolakan menjadi hal biasa. Hal itulah yang membuatnya memegang teguh tagline “Sukses itu hanya masalah waktu”. (ADV)