JAKARTA - Anggota Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menilai Pemilu Presiden dan Legislatif 2024 berjalan baik secara teknis dan prosedural. Akan tetapi, ia mendukung bila ada pihak yang menguji hasil pemilu melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
“Membawa hasil pemilu ke persidangan dalam hal ini Mahkamah Konstitusi justru menunjukkan kita ini adalah masyarakat yang beradab,” kata Titi Anggarini dalam ngobrol bareng Eddy Wijaya di podcast EdshareOn.
Titi menilai wajar bila ada pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mempersoalkan tentang suara pemilih maupun pelanggaran yang mempengaruhi suara pemilih. Hal tersebut perlu dilakukan agar semua pihak tidak hanya berpatokan pada hasil atau angka namun juga pada prosesnya. “Bila hanya mementingkan angkanya, orang akan berlomba-lomba untuk melakukan kecurangan,” ujar perempuan kelahiran 12 Oktober 1979 ini.
Menurut Titi, persidangan di Mahkamah Konstitusi juga sangat penting bagi kredibilitas Mahkamah Konstitusi yang sempat tercoreng lantaran meloloskan aturan batas usia calon presiden. Beleid ini lah yang menjadi alat untuk mencalonkan Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Joko Widodo untuk maju menjadi calon wakil presiden untuk Prabowo Subianto.
“Dari memindahkan pertarungan jalanan ke ruang persidangan terbuka dan dibuka untuk umum, kita bisa menilai dan melihat bahwa di situlah perselisihan hasil pemilu jadi titik balik momentum Mahkamah Konstitusi mendapatkan kembali kepercayaan publik,” ujar alumni Falkutas Hukum Universitas Indonesia ini.
Dalam podcast EdShareOn, Eddy Wijaya berpesan agar siapa pun pemenang berdasarkan hasil rekapitulasi di Komisi Pemilihan Umum maupun hasil gugatan di Mahkamah Konstitusi bisa diterima oleh semua pihak. “Dan yang tak kalah pentingnya jangan anarkistis,” ujar Eddy.
BACA JUGA:
Pilihan Masyarakat Berubah Akibat Bansos
Dalam ngobrol bareng Eddy Wijaya di podcast EdshareOn, Titi Anggraini juga menyinggung masifnya pembagian bantuan sosial (bansos) di tengah kampanye Pemilu 2024. Menurut Titi, dugaan pemanfaatan bansos untuk kepentingan politik praktis juga menjadi fenomena di sejumlah negara seperti Thailand dan Filipina.
Titi menjelaskan, Filipina secara eksplisit menyebut politisasi bansos sebagai pork barrel politics atau politik gentong babi. Menurut Titi, menggunakan sumber daya negara yakni bansos seolah-olah program personal pejabat publik yang ikut berkontestasi politik.
“Nah, kalau yang terjadi di negara kita adalah bansos dari Pak Jokowi. Walaupun Pak Jokowi bukan kontestan tapi semua orang tahu siapa yang dia dukung; ada putranya yang sedang berkontestasi,” ujar Titi.
Menurut Titi, efek bansos jelang pemilu di masyarakat sangat kuat karena menganggap program tersebut sebagai jawaban atas kebutuhan mereka. Bahkan Titi Anggraini mengaku menemukan banyak masyarakat yang berubah pilihan karena bansos tersebut. “Saya menemukan banyak masyarakat ketika saya tanya, ada yang mengaku berubah pilihan karena merasa mendapatkan insentif lebih dari program bantuan sosial tersebut,” ungkapnya. (ADV)