Bagikan:

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) telah menuntaskan sidang gugatan Pasal 169 huruf q UU Pemilu terkait batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) 40 tahun, pada Senin awal pekan kemarin.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan, MK memang kontroversial dan menimbulkan banyak spekulasi. Kontroversi itu tidak hanya dipicu oleh hasil putusannya, tetapi juga dinamika internal di antara hakim.

"Jadi justru hakim-hakim lah yang justru membuat putusan ini menjadi kontroversial dan menciptakan spekulasi," kata Titi dalam keteranganya, Kamis 20 Oktober.

Dalam amar putusannya, Mahkamah menilai bahwa pejabat negara yang berpengalaman sebagai anggota DPR anggota DPD, anggota DPRD, gubernur, bupati dan wali kota layak untuk berpartisipasi dalam kontestasi capres maupun cawapres dalam pemilu meskipun berusia di bawah 40 tahun.

Secara substansi, kata Titi, sebenarnya putusan MK tersebut merupakan sebuah terobosan yang baik bagi praktik pemilu dan demokrasi Indonesia. Karena, putusan tersebut membuka keterlibatan orang muda yang lebih luas.

"Tapi yang menjadi masalah adalah putusan tersebut diputus secara sembrono dan sangat terbuka memperlihatkan inkonsistensi hakim," kata Titi.

Anehnya, kata dia, pendapat 1 hakim tersebut dalam hitungan hari sudah diadopsi oleh mayoritas hakim lain.

"Dalam hal ini bertambah menjadi 3 hakim, dengan tambahan 2 hakim lain mengecualikan bagi yang pernah menjadi kepala daerah," kata Titi.

Titi melihat, putusan hakim tersebut sarat akan muatan politis. Sebab, terjadi pergeseran pertimbangan hukum karena aspek politisasi yudisial atau politisasi atas putusan Mahkamah Kontitusi yang diakui sendiri oleh hakim. Lebih lanjut Titi mendorong dilakukan pemeriksaan secara etis yang serius para hakim Mahkamah untuk memulihkan kredibilitas MK.

Di sisi lain, Titi mendukung kepemimpinan anak muda. Namun, bukan dengan cara sembrono dan menerabas etika bernegara.

Di kesempatan yang sama, Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (BPN PBHI) Julius Ibrani juga buka suara mengenai putusan MK tersebut dimana dapat dilihat kebrutalan sebuah oligarki. Menurutnya, rezim oligarki melegitimasi kebrutalannya melalui MK.

"Itu despotik namanya, dan itu hanya oleh satu kekuasaan politik yang namanya eksekutif," pungkasnya.

Kesimpulan yang dirumuskan di akhir acara adalah, meski memang keputusan MK sudah final, sebenarnya masih ada penjaga gawang, yaitu partai politik (parpol). Parpol bisa saja menganggap putusan MK bermasalah. Terlepas, putusan MK tersebut sah secara hukum dan harus dihormati.

Para pakar melihat ada risiko bagi partai politik sebagai salah satu gatekeeper mengandalkan putusan MK ini sebagai dasar memajukan Gibran Rakabuming ke bursa Pilpres, karena dari prosesnya putusan tersebut tidak aklamasi, ambigu, tidak ada legal standing, dan mengandung benturan kepentingan yang akut.

Para pakar hukum juga senada dalam menilai putusan tersebut dapat merongrong nilai demokrasi melalui otoriterisme Mahkamah Konstitusi yang seharusnya menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusional hukum.