Bagikan:

JAKARTA – “Dengan begini, maka semakin menguatkan dugaan orang bahwa putusan ini dibuat untuk mengakomodir Gibran Rakabuming Raka,” kata pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Andriadi Achmad, mengenai putusan Mahkamah Konstitusi pada pertengahan Oktober lalu.

Tanggal 16 Oktober 2023 menjadi hari yang ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia. Di hari itulah Mahkamah Konstitusi (MK) dijadwalkan membacakan putusan gugatan uji materiil syarat batas usia calon presiden dan wakil presiden. Saat itu, yang diketahui mayoritas publik hanya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mengajukan gugatan.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden menjadi karpet merah bagi Gibran Rakabuming Raka. (Antara/Hafidz Mubarak A/foc/aa)

Maka, ketika MK akhirnya menolak gugatan PSI yang meminta batas usia minimal Capres-Cawapres menjadi 35 tahun disambut positif. Tapi ternyata partai yang identik dengan kaum milenial ini bukan satu-satunya penggugat di MK.

Ada 11 gugatan batas usia Capres-Cawapres yang diajukan. Dan pada sore harinya di hari yang sama, MK mengumumkan mengabulkan gugatatan dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan seorang mahasiswa asal Surakarta Almas Tsaqibbirru. Dari putusan tersebut, syarat pencalonan Capres dan Cawapres adalah minimal 40 tahun atau menduduki jabatan yang dipilih dari Pemilu/Pilkada.

Membodohi Publik

Menurut catatan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), ada 42 orang atau 8,66 persen dari total 485 kepala daerah yang masih berusia di bawah 40 tahun per 17 Oktober 2023. Ada nama Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Dardak yang berusia 31 tahun dan Bupati Kediri Hanindito, Himawan Pramana yang berusia 31 tahun.

Tapi, publik langsung menyimpulkan bahwa putusan tersebut dibuat agar Gibran Rakabuming Raka bisa melangkah dalam kontestasi Pilpres 2024. Saat itu, putra sulung Presiden Joko Widodo memang sedang gencar-gencarnya dihubungkan dengan Prabowo Subianto, Capres dari Koalisi Indonesia Maju (KIM).

Putusan tersebut langsung menjadi topik populer di media sosial dan dibahas di semua media Tanah Air. Wibawa MK sebagai lembaga negara runtuh, dan label sebagai Mahkamah Keluarga makin melekat karena diketuai Anwar Usman, pria yang menikahi adik kandung Jokowi.

Presiden Joko Widodo bersiap mengikuti foto bersama dengan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dan Wakil Ketua MK Aswanto serta hakim MK lainnya seusai sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa (28/1/2019). (Antara/Hafidz Mubarak A/aww)

Sulit untuk menampik bahwa putusan MK ini memang memang untuk melanggengkan jalan Gibran bertarung di Pemilu 2024. Pengamat politik dan Direktur Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah Putra menyebut putusan MK tersebut terlalu berbau nuansa politis.

“Putusan MK kian kental nuansa politis dan cenderung membela satu orang semata untuk konteks 2024, yakni Gibran Rakabuming Raka, MK tidak ingin dianggap secara vulgar memihak kepentingan keluarga Jokowi, tetapi substansi putusan itu jelas mengelabui beberapa penggugat termasuk publik, karena faktanya usia di bawah 40 tahun sekalipun dapat mengikuti kontestasi, putusan ini lebih buruk dibanding mengabulkan gugatan batas usia,” kata Dedi kepada VOI.

“Jika gugatan (batas usia) dikabulkan, maka hak kontestasi itu milik semua warga negara tanpa terkecuali, dengan putusan MK saat ini justru hanya diperuntukkan bagi yang sudah berada di kekuasaan. MK seperti sedang membodohi publik,” ujar Dedi mengimbuhkan.

Menelan Korban

Dan, seperti dugaan banyak pihak, Gibran Rakabuming Raka akhirnya didapuk sebagai Cawapres Prabowo Subianto. Pengumuman tersebut dilakukan sendiri oleh Ketua Partai Gerindra Prabowo di kediamannya di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada 22 Oktober malam.

Pasangan Prabowo-Gibran mendapatkan nomor urut dua berdasarkan pengundian nomor urut Capres-Cawapres yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 14 November.

Namun di balik majunya Gibran sebagai Cawapres, harus ada yang dikorbankan. Di antaranya adalah posisi Anwar Usman yang dipecat dari posisinya sebagai Ketua MK setelah dinyatakan melakukan pelanggaran etik berat oleh Majelis Kehormatan MK.

Belum lagi terkait citra Jokowi yang tercoreng di pengujung kepemimpinannya. Citra yang sudah dibangun mantan Wali Kota Solo selama dua periode rusak akibat putusan MK tersebut. Jokowi akan dianggap sebagai sosok yang memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan keluarganya.

“Yang juga dirugikan adalah Jokowi sendiri. Nama baik, harkat, dan martabat Jokowi hancur. Belum lagi perihal MK yang diplesetkan menjadi Mahkamah Keluarga dan dugaan praktik dinasti politik,” kata Direktur Eksekutif Voxpol Research Center, Pangi Syarwi Chaniago.

Tudingan bahwa Jokowi ingin melanggengkan dinasti politik di Tanah Air menguat. Selama kepemimpinannya, keluarga eks Gubernur DKI Jakarta tersebut menduduki jabatan penting. Sebut saja Bobby Nasution, menantunya, yang menjadi Wali Kota Medan, kemudian Kaesang Pangarep yang diangkat sebagai Ketua PSI serta teranyar Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri sebagai Cawapres walau pengalamannya di gelandang politik Indonesia baru seumur jagung.