Bagikan:

JAKARTA – Dua bulan menjelang pencoblosan pada 14 Februari 2024, berita bohong atau yang dikenal dengan hoaks masif beredar luas di masyarakat. Berita hoaks ini berpotensi membuat suhu politik kian panas, dan menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie berpotensi menyebabkan polarisasi.

Seperti diketahui, Indonesia akan menggelar pesta demokrasi lima tahun sekali tahun depan untuk memilih presiden dan wakil presiden, serta anggota legislatif.

Namun sejak kick-off kampanye Pemilu pada 18 November lalu, sebaran berita hoaks tak bisa dihindari. Parahnya lagi, menurut Budi Arie sebanyak 42 persen publik percaya disinformasi atau informasi yang salah seputar Pemilu.

Contoh hoaks yang bertebaran setiap menjelang Pemilu. (Kementerian Kominfo)

Dengan kata lain, bisa dibilang publik memang menyukai berita yang tidak diketahui kebenarannya. Setelah menerima mentah-mentah berita hoaks, tidak sedikit pula masyarakat yang menyebarluaskannya di berbagai platform media sosial. Karena itulah, tidak heran jika setiap harinya ada saa berita hoaks yang beredar.

Namun, berita hoaks yang marak beredar di tahun politik tak hanya terjadi di Indonesia. Budi Arie mencontohkan keberadaan informasi palsu terkait kecurangan Pemilu Amerika Serikat 2022 yangmengakibatkan pesimisme terhadap demokrasi. Di Malaysia, keberadaan pasukan siber berbasis politik identitas memperkuat polarisasi berbasis agama dan etnis.

Masifnya penyebaran berita hoaks tak lepas dari kemajuan teknologi. Orang-orang seringkali memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan hoaks. Menurut Kementerian Kominfo, sejak 17 Juli hingga 26 November 2023 ditemukan 96 isu hoaks terkait Pemilu 2024 yang tersebar di berbagai ruang digital. 

Realisme Naif

Apa yang menyebabkan masyarakat begitu senang dijejali berita hoaks?

Menurut psikolog klinis dan foreksik Kasandra Putranto, penyebaran berita hoaks sulit dibendung karena beberapa faktor. Pertama, konteks karena konten hoaks seringkali menyesatkan atau propaganda yang tidak sesuai dengan data dan fakta.

“Keterbatasan informasi juga dapat membuat seseorang mudah percaya pada berita hoaks karena arus informasi yang datang terbatas,” kata Kasandra kepada VOI.

“Selain itu, tingkat popularitas informasi juga dapat membuat seseorang tertutup pada kebenaran,” imbuhnya.

Faktor kedua yang menyebabkan orang mudah percaya pada berita hoaks adalah karena mereka lebih senang mendengar berita yang sesuai keinginan. Kasandra mengatakan, orang cenderung percaya hoaks jika informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki, bahkan hingga mengabaikan fakta yang sebenarnya.

Ratusan mahasiswa yang tergabung Forum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Jawa Timur menggelar Mimbar Demokrasi di halaman Universitas Muhammadiyah Surabaya, Rabu (13/12/2023). (Antara/HO-Humas UM Surabaya)

 “Jika seseorang sudah menyukai kelompok tertentu dan memiliki opini yang kuat terhadap suatu objek, maka masyarakat lebih nyaman dengan berita yang mengafirmasi sikap maupun opini serupa meski kebenarannya belum tentu benar,” kata Kasandra menjelaskan.

Kondisi ini dikenal juga sebagai konsep realisme naif. Hal ini menyebabkan ketika tidak setuju dengan sikap orang lain, maka ia merasa yang paling akurat dan mengabaikan pandangan mereka meskipun itu salah.

Selain itu, keterbatasan pengetahuan juga membuat seseorang lebih mudah percaya pada berita hoaks. Karena itu, Budi Arie mengajak seluruh masyarakat Indonesia meningkatkan literasi digital.

"Demi Indonesia cerdas memilih ini, saya mengajak seluruh masyarakat indonesia untuk bersama-sama meningkatkan literasi digital, dan tidak begitu saja percaya, apalagi menyebarkan hoaks," ungkap Budi dikutip laman resmi Kominfo.

Berdampak Pada Demokrasi

Maraknya peredaran berita hoaks tentunya sangat merugikan, tidak hanya diri sendiri tapi juga orang lain. Di antara dampak percaya pada berita hoaks membuat seseorang tidak cerdik dalam menerima berita tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dahulu.

Kasandra menuturkan, percaya hoaks juga akan berimbas pada kehidupan sosial, yaitu memunculkan keresahan di masyarakat. Selain itu, hoaks dapat mengganggu eksistensi, menimbulkan ketidakpercayaan pada diri sendiri, orang lain, dan pihak otoritas.

Saat seseorang terbiasa menelan mentah-mentah berita hoaks, maka dampak lainnya adalah ia justru menjadi tidak percaya ketika disuguhkan pada informasi yang sebenarnya valid. Pada akhirnya, hal ini dapat mengganggu kehidupan sosial dan psikologis seseorang.

Menkominfo Budi Arie Setiadi menerima penghargaan CNBC Indonesia Awards 2023 untuk kategori Figure in Cybercrime Eradication di Hotel Westin, Jakarta, Rabu (13/12/2023). (Antara/HO)

Sementara dampak yang paling besar dari mudahnya percaya pada berita hoaks adalah dapat menyebabkan keributan di media sosial, pencemaran nama baik, perang saudara, bahkan hingga pembunuhan.

Dalam konteks Pemilu 2024, berita hoaks yang tidak diantisipasi menurut Budi Arie dapat melahirkan polarisasi dan berdampak pada kepercayaan terhadap demokrasi.

"Belajar dari pelaksanaan Pemilu di sejumlah negara, tantangan tersebut memiliki dampak signifikan pada kualitas demokrasi dan penyelenggaraan Pemilu," kata Budi menambahkan.