Dinilai Tabrak UU Parpol, Demokrasi ala SBY Dipertanyakan
Jhoni Allen Marbun di kanal Youtube Refli Harun (Foto:Tangkapan Layar)

Bagikan:

JAKARTA - Sekretaris Jenderal Partai Demokrat versi Kongres Luar Biasa (KLB) Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara, Jhoni Allen Marbun menyatakan telah resmi mendaftarkan kepengurusan dibawah pimpinan Moeldoko ke Kementerian Hukum dan HAM.

"Kita mendaftar beberapa hari yang lalu dengan melengkapi semua variabel yang menyangkut keabsahan pelaksanaan KLB, pada 5 Maret di Sibolangit," ujar Jhoni Allen dalam perbincangan di sebuah video YouTube milik Refly Harun, Rabu, 17 Maret.

Menurutnya, penyelenggaraan KLB sudah sesuai dengan hak anggota di dalam mengembalikan Partai Demokrat menjadi partai demokratis. 

"Karena itu, persoalan ini kan persoalan lama sebenarnya. Jadi memang seperti yang dikatakan adik-adik saya disana, PD ini sesuai dengan namanya demokratis, terbuka, siapapun boleh masuk," ucap Jhoni.

Tetapi, lanjut Jhoni, pada Kongres ke-V di Jakarta pada Desember 2020 yang langsung diwariskan kepada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) selaku ketua umum, para kader merasa banyak kejanggalan-kejanggalan. 

"Itu yang membuat para pemegang hak suara, para pemegang kedaulatan, menjadi kaget setelah diamputasi semua kewenangan kewenangannya," ungkap politikus asal Sumatera Utara itu.

Selanjutnya, sambung dia, khususnya pada pelaksanaan Pilkada Desember 2020 kemarin, para ketua DPC tidak diikutsertakan dalam menentukan siapa bupati, walikota yang akan diusung oleh Demokrat. Baik sendiri maupun bersama sama dengan koalisi partai lain. 

"Jaman kami dulu, mulai pak Budhi Santoso, Hadi Utomo, separuh perjalanan Anas Urbaningrum, termasuk Marzuki Alie yang jadi sekjennya, kita tidak pernah mencampuri urusan Pilkada di kabupaten kota. Kita hanya melakukan pengurusan provinsi, gubernur. Itupun rapat majelis tinggi atas usulan DPD," jelas Jhoni.

Namun anehnya, kata dia, kini majelis tinggi partai (MTP) justru mengambil semua kekuasaan tertinggi di dalam kepengurusan Partai Demokrat. Dimana ketuanya adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Dalam AD/ART, majelis tinggi tahun 2020-2025 adalah otomatis ketua umum. Dari tahun 2015-2020, padahal 2015-2020 itu kan kepengurusannya sudah demisioner kok tiba tiba ujug-ujug langsung majeli tinggi?," kata Jhoni heran.

Sementara yang paling menabrak UU Parpol, tambah Jhoni, adalah hak-hak ketua majelis tinggi versi Kongres V tahun 2020. 

Diantaranya, pertama, mengangkat dan memberhentikan hakim-hakim mahkamah partai. Kedua, merancang dan mengusulkan untuk ditetapkan pada kongres atau KLB AD/ART. 

"Itu pasal 9. Merancang dan mengusulkan untuk ditetapkan. Tidak ada pembahasan. Nah, ketua majelis tinggi mengangkat dan memberhentikan anggota-anggota majelis tinggi. Jadi, satu kesatuan aja. Bahwa dia sendiri yang mengangkat. Misalnya saya enggak cocok sama dia ya berhentiin. Itu tidak ada dalam proses rapat," beber Jhoni. 

Kejanggalan berikutnya, kata Jhoni, adalah penunjukkan calon ketua umum. Dimana pada kongres maupun KLB harus persetujuan SBY. 

"Nah, itu yang disebut dia (SBY) bahwa KLB tidak sah karena tidak ada tanda tangan saya (SBY). Tidak ada persetujuan tidak ada tanda tangan saya, jadi diakui baru satu itu. Tapi banyak lagi yang lain," jelas dia. 

Karena itu, Jhoni mempertanyakan dimana letak demokratisnya seorang SBY sebagai petinggi partai. Padahal, presiden keenam RI itu selalu menyerukan demokrasi yang adil.

"Persoalannya, apakah yang didengungkan SBY, yang selalu mengatakan bahwa demokrasi harus dikedepankan. Tetapi dalam rumah sendiri demokrasi itu diamputasi. Sekaligus juga mengatakan keadilan harus dikedepankan," kata Jhoni.

"Dimana keadilan perlakuan kepada kedaulatan anggota dari Sabang sampai Merauke? Ini yang selalu terbalik-balik di dalam. Apa yang disampaikan dengan apa yang terjadi," sambung dia menutup pernyataannya.