Bagikan:

JAKARTA - Juru Bicara DPP Partai Demokrat KLB Deli Serdang Muhammad Rahmad, turut mengomentari perihal Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) yang diawaki Gede Pasek Suardika.

Menurutnya, langkah mantan Sekjen Partai Hanura yang sebelumnya pernah berkiprah di Partai Demokrat adalah bentuk kebebasan berserikat dan berkumpul yang dijamin oleh UU.

Lagipula, dikatakan Rahmad, selain PKN juga sudah ada sejumlah partai baru lainnya seperti Partai Gelora, Partai Ummat, Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA), Partai Buruh, dan Partai Pergerakan Kebangkitan Desa.

"UU Partai Politik tidak mengatur jumlah partai peserta pemilu, sehingga wajar saja jika sebelum pemilu, muncul partai partai baru. Sesuai ketentuan, partai calon peserta pemilu harus mengikuti verifikasi administrasi bagi partai yang memiliki kursi di DPR RI atau verifikasi administrasi dan faktual bagi partai baru dan bagi partai yang tidak memiliki kursi di DPR RI," ujar Rahmad di Jakarta, Senin, 1 November.

Rahmad lantas menyinggung soal Partai Demokrat kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang tidak konsisten dalam memberikan pendapat terkait lahirnya parpol baru.

Hal ini, kata dia, terlihat dari pernyataan Jubir Demokrat AHY Herzaky Mahendra Putra yang menyebutkan Demokrat berharap parpol-parpol baru di Indonesia memiliki komitmen kuat menjaga iklim demokrasi yang kondusif dan sehat sebagaimana komitmen Demokrat bersama Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

"Pernyataan itu bertolak belakang dengan praktik yang dilakukan AHY. AHY dan kubunya menggunakan tangan besi ala Hitler dalam mengelola partai dan membuat AD/ART yang sarat oligarki, tirani, dan otokrasi sehingga komitmen kuat menjaga iklim demokrasi yang kondusif dan sehat itu hanya pepesan kosong dan hipokrit demokrasi," jelas Rahmad.

Kubu AHY juga menyebut tidak alergi dengan perbedaan pendapat dalam membangun bangsa dan negara ini. Namun faktanya, kata Rahmad, mereka sangat alergi dengan perbedaan dan menganggap partai adalah milik pribadi atau kelompok tertentu.

"Hal itu terlihat dari upaya mereka mengubah sejarah pendirian Partai Demokrat dengan merubah AD/ART partai dan memasukkan nama SBY sebagai pendiri dan menghilangkan 98 nama pendiri asli Partai Demokrat," terang Rahmad.

Sementara, terkait pernyataan kubu AHY yang menyebut loyalis Anas lebih berani dari kubu Moeldoko, Rahmad melihat ini sebagai tanda kubu AHY tidak mengerti dan tidak paham esensi demokratisasi pasca Reformasi, yakni menolak oligarki, tirani, KKN, otokrasi, dan totaliter.

"Partai itu bukan soal berani atau tidak tapi soal demokratisasi yang sedang diperjuangkan. Bagi kubu Moeldoko, mengembalikan kepemilikan Partai Demokrat kepada rakyat adalah harga mati. Adalah fardhu ain (wajib bagi setiap warga negara) untuk menghapus praktik oligarki, tirani, otokrasi, dan totaliter ala Hitler di dalam Partai Demokrat. Itulah jihad politiknya Pak Moeldoko," pungkas Rahmad.