JAKARTA - Gelombang konflik Partai Demokrat semakin menggerus karang kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Satu per satu fakta terkuat bahwa ayahnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bukanlah pemilik partai berlogo bintang mercy.
Para pendiri lantas mengungkit cikal bakal lahirnya Demokrat hingga berani meminang SBY sebagai calon presiden saat menjadi menteri Megawati.
Melalui fakta yang dibeberkan pendiri, situasi yang dihadapi pangeran Cikeas bak karma dari sikap SBY selama menahkodai Demokrat. Dimana menuainya kudeta pada AHY melalui KLB Deli Serdang ternyata pernah ditabur SBY kala merebut kursi Demokrat 1 dari tangan Anas Urbaningrum.
Bahkan, bau campur tangan SBY yang kala itu diam menyikapi konflik di tubuh PKB akhirnya tercium lewat pernyataannya sendiri yang dijawab Menko Polhukam, Mahfud MD. SBY menyebut ada intervensi pemerintah yang ikut mendukung KLB Deli Serdang.
Padahal, ketika terjadi dualisme di PKB antara kubu Abdurrahman Wahid dan Muhaimin Iskandar, SBY juga diam. Bahkan Gus Dur menyebut SBY sebagai biang permasalahannya partainya.
BACA JUGA:
Kronologi Dipinangnya SBY ke Demokrat
Dosa-dosa SBY pun satu per satu mulai dibacakan. SBY nyatanya tidak punya hak atas kepemilikan Partai Demokrat seperti yang diakuinya selama 20 tahun ini. Para pendiri tidak terima jika Partai Demokrat yang terbuka kini disulap menjadi partai dinasti milik keluarga.
Salah satu pendiri Partai Demokrat, Hencky Luntungan hingga berulangkali menegaskan, bahwa dari daftar nama 99 Pendiri Partai Demokrat yang dimuat dalam akte notaris, tidak ada nama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sebelum formasi 99 tersebut diatas disahkan oleh Menkumham, sebenarnya cikal bakal berdirinya partai demokrat hanya 3 (tiga) orang yakni, Vence Rumangkang, Kurdi Mustofa dan Ki Ageng Noto.
Kemudian dari tiga orang pemrakarsa/penggagas sekaligus pendiri awal Partai Demokrat sebelum diterbitkannya UU Parpol 2001, maka disusunlah kepengurusan sebanyak 9 (sembilan) orang, yakni masing-masing dengan membawa 3 orang.
Ki Ageng mengajak Prof. S.Budhisantoso dan Irzan Tanjung, kemudian Vence mengajak Prof. Rompas & Henky Luntungan, kemudian Kurdi karena militer aktif tidak boleh bertindak sebagai pendiri partai, maka dia menunjuk temannya yakni Ahmad Yani, Mubarok dan satu lainnya.
Sembilan nama pengurus tersebut setelah didaftarkan ke Depkumham waktu itu, ditunda sementara pengesahannya karena menunggu Undang-Undang Partai Politik baru tahun 2001. Setelah UU Parpol 2001 terbit, ternyata salah satu syaratnya mengharuskan sebuah Partai Politik bisa didirikan, minimal oleh 50 orang.
Kemudian dari 9 pengurus tersebut masing-masing mengusulkan/membawa teman-temannya hingga jumlahnya menjadi 99 orang. Ke-99 orang itulah yang akhirnya menanda tangani Akte Notaris berdirinya Partai Demokrat, yang kemudian disyahkan oleh Menkumham.
Awalnya diusulkan dari sembilan orang pengurus pertama waktu pembentukan, membawa teman-temannya masing-masing sebanyak 10 orang hingga totalnya ada 90 orang. Namun Vence akhirnya sepakat karena partai ini dipersiapkan untuk mengusung SBY maju di Pilpres 2004, maka kemudian mengambil inisiatif tanggal lahirnya SBY 9 September, sebagai jumlah penanda tangan Akte berdirinya Partai Demokrat menjadi 99 orang.
Awalnya SBY meragukan Partai Demokrat, karena sudah mendapat jaminan dari PKB yang akan mengusungnya pada Pilpres 2004.
Namun dengan kerja keras dan kesungguhan pendiri bahwa sangat serius menjadikan Partai Demokrat sebagai kendaraan politik SBY untuk maju di Pilpres 2004, akhirnya SBY percaya setelah pendiri memasukkan nama istrinya, sebagai tambahan untuk menjadi Wakil Ketua Umum, diluar 99 orang yang telah menanda tangani Akte Pendirian Partai Demokrat.
BACA JUGA:
Moeldoko Didekati Para Pendiri Demokrat Untuk jadi Ketum
Kejadian 20 tahun lalu terulang. Jika para pendiri dahulu meminta Menko Polhukam SBY untuk menggunakan Demokrat sebagai kendaraan politiknya menjelang Pilpres 2004, hari ini pendiri dan para kader pun meminta Kepala Staf Presiden KSP Moeldoko menjadi ketua umum Partai Demokrat.
Hal ini didasarkan pada menurunnya elektabilitas partai sejak SBY memimpin. Di mana ketika SBY terpilih menjadi presiden, di bawah kepemimpinan Hadi Utomo sebagai ketua umum perolehan suara Demokrat adalah 21 persen.
"Ketika PD dikudeta oleh SBY, yang kala itu presiden merangkap sebagai ketum menggantikan Anas Urbaningrum tahun 2015, perolehan suara Partai Demokrat turun menjadi 12 persen. Tergerus 10 persen," ungkap mantan Kepala Kantor Demokrat, Muhammad Rahmat.
Ketika Demokrat masih dipimpin SBY dan AHY sebagai ketua Kogasma yang menjadi pucuk kewenangan untuk memenangkan Partai Demokrat pada faktanya perolehan suara hanya 7 persen.
"Jika penyakit kanker dan bisul ini terus dibiarkan maka kemungkinan di 2024 perolehan suara Partai Demokrat akan berada dibawah 5 persen," kata Rahmat.
Hal inilah, kata dia, yang dikhawatirkan para pendiri dan senior yang mendirikan partai. Karena itu, penggagas KLB meminta Moeldoko menyelamatkan Partai Demokrat dari penyakit yang dapat menghentikan umur partai.
"Kita mengundang Pak Moeldoko, menginginkan Pak Moeldoko untuk memperbaiki situasi hingga kondisi internal Partai Demokrat kembali baik," jelas Rahmat.
"Jadi, tidak ada urusan yang mengatakan negara terlibat, Pak Jokowi terlibat, tidak ada urusan mengatakan pihak-pihak internal pemerintah terlibat. Itu adalah karangan bebas, karangan yang tidak berdasar, argumentasi keliru, argumentasi menyesatkan. Karena tujuan utama KLB adalah bagaimana Partai Demokrat kembali membaik," sambungnya.
BACA JUGA:
Moeldoko Sempat Menolak Ditawarkan jadi Ketum
Sebelum meminang Moeldoko, Rahmat mengungkapkan, para pendiri dan kader Demokrat sudah berpikir matang terkait siapa sosok yang tepat memperbaiki partai.
"Untuk baik dibutuhkan tokoh-tokoh yang punya jaringan kuat, yang memiliki kapabilitas kemampuan yang baik," kata Rahmat.
Alasan tersebut membuat para pendiri dan kader sepakat untuk meminta Moeldoko sebagai ketua umum Partai Demokrat.
"Dan alasan kanker stadium 5 inilah yang disampaikan ke pak Moeldoko sehingga para senior mengatakan, 'Pak jika bapak ingin membenahi demokrasi Indonesia, jika bapak sayang dengan jutaan kader PD di seluruh Indonesia, jika bapak sayang dengan masa depan Indonesia maka lakukanlah jihad politik. Maka lakukanlah jihad demokrasi dengan bersedia memimpin partai Demokrat' itu yang disampaikan," ungkap Rahmat mengutip permintaan para senior kepada Moeldoko.
Rahmat juga membeberkan bahwa Moeldoko sempat menolak ketika diminta untuk memimpin Demokrat.
"Pak Moeldoko belum mau tetapi kemudian muncul pemberitaan dari pak SBY yang mengatakan menyesal melihat pak Moeldoko. Lalu muncul tekanan pada pak Moeldoko sehingga para senior kembali mendekati pak Moeldoko. 'Pak bapak harus tantang ancaman ini, bapak harus buktikan ancaman ini, bapak harus wujudkan tekanan ini menjadi kenyataan'. Ini lah latar belakangnya," kata Rahmat menandaskan.
Usai ungkap penyesalan ke Moeldoko, SBY pun menyerang pemerintah dengan tudingan intervensi.
SBY Gunting PKB Gus Dur, Khianati Mega, dan Kudeta Anas
Kesedian Moeldoko menjadi Ketum Demokrat yang didaulat melalui KLB di Sumut, diacungi jempol karena. Terjadinya KLB Sumut dinilai sebagai spirit alam dan pembelajaran demokrasi bagi SBY dan seluruh rakyat Indonesia.
Sikap bagaimana SBY waktu menggunting PKB era Gus Dur, dan turut andil dalam menyerbu DPP PDI kala itu dianggap sebagai penghianatan SBY ke Megawati sewaktu menjabat Menkopolhukam. Selanjutnya tindakan SBY menggulingkan Anas Urbaningrum, yang terjadi hari ini adalah balasan, hukum alam, sekaligus pembelajaran demokrasi bagi SBY.
"Lawan terus sosok penghianat seolah bermuka malaikat padahal kejam," kata Sekjen PPJNA 98 Abdul Salam Nur Ahmad, dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 9 Maret.
Karma SBY atas tingkahnya itu juga diungkap Menkopolhukam Mahfud MD. Menurutnya, ketika menjadi presiden dan terjadi perebutan PKB antara Gus Dur dan Cak Imin, SBY dikatakan hanya diam bukan menengahi.
BACA JUGA:
Kudeta AHY Cermin Karma SBY
Kubu pendukung Kongres Luar Biasa (KLB) yang juga mantan Kepala Kantor Demokrat, Muhammad Rahmat, menyatakan bahwa masuknya Kepala Staf Presiden KSP Moeldoko ke partai Demokrat sama halnya dengan Susilo Bambang Yudhoyono menginjakkan kaki ke partai berlogo bintang mercy itu pada 2003 lalu.
"Sama-sama bukan kader partai," ujar Rahmat saat konferensi pers di kawasan Kuningan, Jakarta, Selasa, 9 Maret.
Rahmat mencontohkan, para kepala daerah yang diusung oleh Partai Demokrat. Dimana saat terpilih, mereka diberikan jabatan penting di kepengurusan partai.
"Berapa banyak bupati dan walikota, gubernur diseluruh Indonesia ketika sudah jadi gubernur, ketika sudah jadi bupati, ketika sudah jadi walikota masuk menjadi ketua bidang partai Demokrat. Mereka sebelumnya bukan kader PD dan itu kita tahu persis," jelas Rahmat.
Hal itu dilakukan, sambung dia, lantaran Partai Demokrat merupakan partai yang modern dan terbuka. Sehingga tidak menutup pintu bagi siapapun putra putri bangsa yang ingin menjadi pemimpin dari partai tersebut.
Sehingga apa yang dilakukan KLB saat ini, kata Rahmat, juga pernah dilaksanakan oleh SBY. Yakni, dengan menunjuk putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai calon kepala daerah sekaligus ketua Kogasma. Padahal, menurut Rahmat, AHY bukan lah kader partai.
"Sama halnya dengan pak SBY ketika AHY berpangkat mayor bertugas di Australia, tugas negara, dipanggil pulang disuruh keluar dari TNI masuk melamar jadi Cagub DKI dan jadi kader Partai Demokrat. Itu kan sama halnya," beber Rahmat.
Karena itu, Rahmat menegaskan bahwa penunjukkan Moeldoko menjadi ketua umum Partai Demokrat sebagai hasil KLB Deli Serdang adalah wajar. Karena SBY pernah bersikap demikian.
"Apa yang dilakukan SBY adalah sama dengan yang kami lakukan. Jadi ketika SBY membolak-balikkan fakta ini lucu dan aneh," kata Rahmat.