Stafsus Edhy Prabowo Dicecar Penyidik soal Aliran Duit dan Kepemilikan Aset dari Suap Benur
Edhy Prabowo (DOK. ANTARA)

Bagikan:

JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa staf khusus mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, Andreau Pribadi Misanta sebagai saksi. Andreau dicecar penyidik mengenai kepemilikan aset dan aliran duit ke sejumlah pihak.

KPK menduga, duit yang digunakan untuk membeli aset ini merupakan pemberian eksportir benur atau benih lobster yang telah mendapatkan izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.

"Tim penyidik KPK masih terus mendalami  dugaan kepemilikan berbagai aset milik yang bersangkutan dan aliran sejumlah dana ke berbagai pihak yang mana, sumber uang  pembelian aset tersebut diduga dari kumpulan para ekspoktir yang mendapatkan ekspor di KKP," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 5 Februari.

Beberapa waktu lalu KPK memang telah menyebut akan membuka peluang penerapan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) untuk menjerat Edhy.  Ali Fikri mengatakan, KPK saat ini tengah mengumpulkan bukti-bukti sebelum menjerat eks politikus Partai Gerindra tersebut.

"Tidak menutup kemungkinan dapat diterapkan tindak pidana lain, dalam hal ini TPPU, sepanjang berdasarkan fakta yang ada dapat disimpulkan adanya bukti permulaan yang cukup," kata Ali dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Kamis, 28 Januari.

Meski membuka peluang, Ali menegaskan, KPK masih fokus dalam upaya pembuktian pasal suap terhadap para tersangka dalam kasus yang menjerat Edhy Prabowo ini.

"Saat ini penyidikan masih fokus pembuktian pasal-pasal suap dengan para tersangka saat ini," tegasnya

Dalam kasus suap ekspor benur atau benih lobster ini, Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka penerima suap bersama lima orang lainnya yaitu: Stafsus Menteri KKP Safri (SAF) dan Andreau Pribadi Misanta (APM); Pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK) Siswadi (SWD); Staf istri Menteri KKP Ainul Faqih, dan Amiril Mukminin (AM).

Sementara pemberi suap adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (PT DPPP) Suharjito (SJT).

Edhy ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima suap dari perusahaan-perusahaan yang mendapat penetapan izin ekspor benih lobster menggunakan perusahaan forwarder dan ditampung dalam satu rekening hingga mencapai Rp9,8 miliar dan  100 ribu dolar AS dari Suharjito melalui Safri dan Amiril.

Uang yang masuk ke rekening PT ACK yang saat ini jadi penyedia jasa kargo satu-satunya untuk ekspor benih lobster itu selanjutnya ditarik ke rekening pemegang PT ACK, yaitu Ahmad Bahtiar dan Amri senilai total Rp9,8 miliar.

Uang ini dipergunakan untuk belanja barang mewah oleh Edhy dan istri-nya di Honolulu, AS pada 21 sampai dengan 23 November 2020 sejumlah sekitar Rp750 juta di antaranya berupa jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, sepeda roadbike, dan baju Old Navy.