Periksa Kepala Bappeda Litbang Bengkulu, KPK Dalami Soal Aliran Uang Terkait Perizinan Tambak Udang
KPK (VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rampung memeriksa Kepala Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda Litbang) Provinsi Bengkulu Isnan Fajri.

Isnan Fajri diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap terkait izin ekspor benur atau benih lobster.

Dalam pemeriksaan tersebut, KPK mendalami perihal tahapan permohonan izin tambak udang yang diajukan oleh Direktur PT Dua Putra Perkasa (PT DPP) Suharjito. 

"Isnan Fajri, Kepala Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Bengkulu didalami pengetahuannya terkait dengan tahapan permohonan perizinan tambak udang di Provinsi Bengkulu yang pernah diajukan oleh SJT sebagai salah satu eksportir benur di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)," kata Plt Juru Bicara KPK bidang Penindakan Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 29 Januari.

Selain mendalami soal tahapan permohonan perizinan tambak udang di Provinsi Bengkulu, Isnan juga dicecar penyidik KPK terkait aliran uang terkait permohonan izin tersebut ke berbagai pihak.

KPK sudah melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah pejabat di Provinsi Bengkulu terkait kasus yang menjerat mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, termasuk Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah dan Bupati Kaur Gusril Pais.

Saat diperiksa, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah dicecar oleh tim penyidik terkait rekomendasi usaha lobster yang diberikannya untuk Suharjito, Direktur Utama PT Dua Putra Perkasa. Sementara Bupati Kaur Gusril Paisi dicecar perihal rekomendasi yang diberikan Gusril pada perusahaan penyuap Edhy Prabowo.

Diberitakan sebelumnya, dalam kasus suap ekspor benur atau benih lobster ini, Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka penerima suap bersama lima orang lainnya yaitu: Stafsus Menteri KKP Safri (SAF) dan Andreau Pribadi Misanta (APM); Pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK) Siswadi (SWD); Staf istri Menteri KKP Ainul Faqih, dan Amiril Mukminin (AM).

Sementara pemberi suap adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (PT DPPP) Suharjito (SJT).

Edhy ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima suap dari perusahaan-perusahaan yang mendapat penetapan izin ekspor benih lobster menggunakan perusahaan forwarder dan ditampung dalam satu rekening hingga mencapai Rp9,8 miliar.

Uang yang masuk ke rekening PT ACK yang saat ini jadi penyedia jasa kargo satu-satunya untuk ekspor benih lobster itu selanjutnya ditarik ke rekening pemegang PT ACK, yaitu Ahmad Bahtiar dan Amri senilai total Rp9,8 miliar.

Selanjutnya pada 5 November 2020, Ahmad Bahtiar mentransfer ke rekening staf istri Edhy bernama Ainul sebesar Rp3,4 miliar yang diperuntukkan bagi keperluan Edhy, istri-nya Iis Rosyati Dewi, Safri, dan Andreau.

Uang ini dipergunakan untuk belanja barang mewah oleh Edhy dan istri-nya di Honolulu, AS pada 21 sampai dengan 23 November 2020 sejumlah sekitar Rp750 juta di antaranya berupa jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, sepeda roadbike, dan baju Old Navy.

Selain itu, sekitar Mei 2020, Edhy juga diduga menerima 100 ribu dolar AS dari Suharjito melalui Safri dan Amiril.