Bagikan:

JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rampung melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi dalam kasus suap izin ekspor benur atau benih lobster, termasuk memeriksa pegawai bagian Legal Divisi Hukum BNI Kantor Pusat, Amanda Tita Mahesa.

Dalam pemeriksaan yang digelar pada Senin, 1 Maret kemarin, Amanda dicecar penyidik terkait tak diblokirnya rekening milik staf khusus mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo, Andreau Pribadi Misanta.

Sama seperti bosnya Edhy Prabowo, Andreau Pribadi telah menyandang status sebagai tersangka.

"Amanda Tita Mahesa, Legal Divisi Hukum Bank BNI Kantor Pusat, didalami pengetahuannya terkait dugaan alasan tidak terblokirnya salah satu rekening bank milik tersangka AMP (Andreau Misanta Pribadi). Di mana sebelumnya tim penyidik KPK telah melakukan pemblokiran untuk seluruh rekening bank milik tersangka AMP tersebut," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 2 Maret.

Selain itu, penyidik juga meminta keterangan dari saksi lainnya seperti karyawan swasta Syammy Dusman yang didalami pengetahuannya soal aliran duit yang dibagikan Edhy pada pihak lain. Adapun duit yang digunakan berasal dari para eksportir benur yang mendapat izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2020 lalu.

Berikutnya, penyidik juga meminta keterangan dari Mulyanto yang merupakan karyawan swasta. Dia dimintai keterangan terkait dugaan pengelolaan uang oleh tersangka Amiril Mukminin aras perintah Edhy Prabowo. 

"Kemudian, Asep Abidin Supriatna, karyawan Swasta didalami pengetahuan terkait dugaan pembelian rumah oleh tersangka EP melalui tersangka AM yang sumbernya diduga dari kumpulan pemberian sejumlah uang oleh para ekspoktir benur yang mendapatkan izin di KKP tahun 2020," ungkap Ali.

Selain memanggil sejumlah saksi, pada hari terebut, KPK juga melakukan pemeriksaan terhadap tersangka Amiril Mukminin. Dalam pemeriksaan tersebut, dia dicecar terkait pembelian aset berupa tanah dan bangunan milik Edhy.

Diberitakan sebelumya, dalam kasus suap ekspor benur atau benih lobster ini, Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka penerima suap bersama lima orang lainnya yaitu: Stafsus Menteri KKP Safri (SAF) dan Andreau Pribadi Misanta (APM); Pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK) Siswadi (SWD); Staf istri Menteri KKP Ainul Faqih, dan Amiril Mukminin (AM).

Sementara pemberi suap adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (PT DPPP) Suharjito (SJT)

Edhy ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima suap dari perusahaan-perusahaan yang mendapat penetapan izin ekspor benih lobster menggunakan perusahaan forwarder dan ditampung dalam satu rekening hingga mencapai Rp9,8 miliar.

Uang-uang ini diduga dipergunakan Edhy dan istrinya untuk berbelanja barang mewah, termasuk saat melakukan lawatan ke Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat sebelum terjerat dalam operasi tangkap tangan (OTT).

Dalam perkara ini, Edhy dan lima orang lainnya dijerat dengan Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sedangkan sebagai pemberi suap, Suharjito dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.