JAKARTA - Satwa endemik burung pelanduk kalimantan atau Malacocincla perspicillata yang diduga mengalami kepunahan sejak 1848 atau 172 tahun yang lalu kembali ditemukan di Kalimantan Selatan.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno mengapresiasi para citizen science, yang mengumpulkan dan menganalisa data ilmiah.
Wiratno mengatakan satwa liar akan sejahtera sepenuhnya apabila hidup di alam habitatnya. Hal itu juga menegaskan pihaknya memerangi perburuan ilegal satwa liar yang dilindungi.
Pejabat Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Pertama, Balai Taman Nasional (TN) Sebangau Teguh Willy Nugroho mengatakan burung pelanduk kalimantan yang ditemukan sesuai dengan digambarkan ahli ornitologi Prancis, Charles Lucien Bonaparte pada 1850. Hal ini berdasarkan spesimen yang dikumpulkan pada 1840-an oleh ahli geologi dan naturalis Jerman, Carl A.L.M. Schwaner selama ekspedisinya ke Kalimantan.
Sejak saat itu, tidak ada spesimen atau penampakan lain yang dilaporkan. Selain itu, asal muasal spesimen masih menjadi misteri, bahkan pulau di mana spesimen tersebut diambil juga tidak jelas.
Asumsi awal spesimen tersebut diambil di Pulau Jawa pada 1895 diterangkan ahli ornitologi Swiss Johann Büttikofer yang menunjukkan waktu itu Schwaner berada di Pulau Kalimantan.
Spesimen inilah kemudian menjadi spesimen satu-satunya di dunia sehingga semua rujukan dan deskripsi morfologi burung mengacu kepada satu spesimen tersebut.
Burung penyanyi yang tergolong dalam keluarga Pellorneidae itu, sebelumnya diklasifikasikan Rentan oleh IUCN. Pada 2008, status burung tersebut berubah menjadi “Kurang Data” berdasarkan penelitian terbaru yang menunjukkan kurangnya informasi yang dapat dipercaya. Dalam Peraturan Menteri LHK Nomor P 106 Tahun 2018, burung itu belum masuk satwa dilindungi.
BACA JUGA:
Awal mula burung tersebut ditemukan merupakan ketidaksengajaan oleh dua warga lokal di salah satu wilayah di Kalimantan Selatan. Salah satu dari mereka merupakan anggota dari grup sosial media bernama Galeatus yang merupakan grup komunitas dan komunikasi mengenai seluk-beluk burung.
Setelah berdiskusi dan ditelaah oleh tim admin, mereka kemudian menghubungi ahli burung dari Birdpacker untuk mencari informasi lebih lanjut terkait dengan temuan tersebut.
"Terdapat perbedaan mencolok pada anatomi burung yang ditemukan dengan literasi yang ada saat ini, di antaranya pada warna iris mata, paruh, dan warna kaki. Itulah yang membuat identifikasi mengalami kesulitan saat pertama kali melihat morfologi burung ini," ujar Teguh yang juga salah satu penulis makalah mengenai burung itu.
Teguh menegaskan temuan tersebut juga membuktikan bahwa keanekaragaman hayati Indonesia masih ada pada bagian-bagian terdalam hutan.
Dia berpendapat, pada kondisi pandemi COVID-19 seperti saat ini, hal penting membangun jaringan antara masyarakat lokal, peneliti pemula, peneliti profesional, serta berbagai pihak untuk dapat mengumpulkan informasi tentang keanekaragaman hayati di Indonesia, terutama spesies penting yang memiliki sedikit data.
“Jejaring ini dapat berdampak besar bagi kelestarian satwa di Indonesia,” ujar Teguh.