Bagikan:

JEPANG - Seorang warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja di salah satu perusahaan di Yokohama, Jepang terpaksa menjalani puasa tanpa mendengarkan suara Adzan. Kok bisa?

“Selama ini tak pernah lihat masjid, tapi katanya ada. Tentu saja berbeda dengan di Indoneisa yang toa-nya (speaker) ada dimana-mana. Di sini dengar suaranya pun tidak. Biasanya pakai aplikasi,” ujar Hendrik salah satu WNI yang tinggal di Yokohama, Jepang, saat dihubungi VOI, Rabu, 13 Maret.

Hendrik mengaku sangat merindukan suara Adzan yang terdengar di waktu Maghrib. Terlebih saat berbuka dengan keluarga di kampungnya, Solo, Jawa Tengah.

“Terkadang suka kangen masakan orang tua saat berbuka puasa. Tapi bagaimana, saya kontrak di sini hingga 5 tahun,” ucapnya.

Hendrik menjelaskan bila bulan Ramadan di Yokohama ini tidak jauh berbeda dengan bulan biasanya. Sebab penduduk muslim di Jepang menjadi kaum minoritas sehingga tidak terjadi banyak perubahan di hari-hari biasanya.

“Di sini kaya biasa aja, di sini orang-orangnya seperti tidak anggap Ramadan itu ada. Soalnya di kantor saya saja, tidak ada orang Indonesia. Jadi bisa dikatakan tidak ada muslimnya,” ucapnya sambil tertawa.

Hendrik mengaku bahwa puasa di Jepang memiliki durasi hingga 14-17 jam, ditentukan dengan kondisi cuaca di wilayahnya.

“Kalau musim panas, umumnya waktu siang akan lebih panjang sehingga puasa mereka akan memakan waktu sampai 17 jam lamanya,” ungkapnya.

Untuk mencari menu berbuka puasa, Hendirk mengaku kesulitan. Sebab makanan di Yokohama, Jepang rata-rata masuk kategori tidak halal. Oleh karena itu, Hendrik memilih untuk membeli makanan minimarket yang terbilang aman.

“Jajanan pinggir jalan tidak ada (halal), adanya restoran atau mini-market,” tutupnya.