Penyidik Tak Temukan Apapun saat Menggeledah Rumah Ihsan Yunus, Penyidik Dianggap Terlambat
Gedung KPK (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Penggeledahan yang digelar penyidik KPK di rumah mantan Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ihsan Yunus di Pulogadung, Jakarta Timur, pada Rabu, 24 Februari, tak membuahkan hasil. Penyidik yang ingin mencari bukti tambahan untuk kasus korupsi dana bansos itu, pulang dengan tangan hampa.

"Sejauh ini tidak ditemukan dokumen atau barang yang berkaitan dengan perkara ini," ungkap Ali dalam keterangan tertulisnya usai penggeledahan dilakukan.

Meski penggeledahan tak ditemukan barang bukti apa pun, penyidik bakal terus mengumpulkan bukti dan melengkapi pembuktian pemberkasan kasus suap ini.

Upaya penyidik ini dinilai terlambat. Sebab, dalam giat tersebut tak ada barang bukti apapun yang ditemukan berkaitan dengan kasus suap bantuan sosial (bansos) COVID-19 yang sebelumnya menjerat mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara.

Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, KPK telah terlambat untuk melakukan penggeledahan di rumah Ihsan Yunus. Hal inilah yang membuat para penyidik harus pulang ke gedung dwiwarna dengan tangan hampa tanpa membawa bukti apapun.

"Lah, geledahnya sudah sebulan dari kejadian memang mau dapat apa?" tanya Boyamin.

Menurutnya, dengan jeda waktu yang begitu lama, tentunya akan sulit untuk mendapatkan barang bukti untuk menjerat Ihsan. Alasannya, bisa saja barang bukti tersebut sudah dibersihkan terlebih dahulu.

"Agak sulit untuk dapat barang bukti, diduga sudah dibersihkan sebelumnya. Sudah sangat terlambat," tegasnya.

Penggeledahan yang terlambat inilah, kata dia, menjadi salah satu alasan mengapa beberapa waktu yang lalu dia mengajukan praperadilan terkait kasus suap bansos COVID-19 ini. 

Upaya hukum ini, sekaligus menjadi pembuktian jika penyidik memang menelantarkan 20 surat izin dari Dewan Pengawas KPK untuk mengusut kasus tersebut. Apalagi, menurutnya, puluhan surat izin ini sebenarnya sudah dikeluarkan sejak operasi tangkap tangan (OTT) terjadi sekitar Desember 2020 lalu.

"Jadi mestinya saat itu langsung dilakukan (penggeledahan, red). Sehingga barang bukti masih utuh dan tidak dihilangkan. Kalau baru sekarang atau nanti maka diperkirakan dan diduga barang bukti sudah hilang," ujarnya.

"Ibarat perang, penggeledahan itu harus ada unsur kejut dan mendadak. Bahkan kalau perlu malam hari atau menjelang pagi," ujarnya.

Adapun dalam kasus suap pengadaan bansos COVID-19 di Jabodetabek ini, nama politikus PDI Perjuangan itu berulangkali terdengar. Bahkan, saat rekonstruksi ulang dilakukan, terungkap ada pemberian uang sebesar Rp1,53 miliar dan dua unit sepeda Brompton dari pengusaha yang jadi pemberi suap, yaitu Harry Sidabuke melalui operatornya Agustri Yogasmara.

Belakangan, Yogas mengembalikan dua unit sepeda yang diberikan Harry ke KPK dan penyidik langsung melakukan rekonstruksi.

Tak hanya itu, beberapa waktu yang lalu kediaman orang tua Ihsan juga sudah digeledah dan adiknya, Muhammad Rakyan Ikram juga sudah diperiksa oleh KPK karena diduga dia tahu perihal pembagian jatah dan pendistribusian bansos COVID-19.

Ihsan pun telah dipanggil sebagai saksi dalam kasus ini. Pada panggilan pertama, dia mangkir dan baru datang ke Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada pada Kamis, 25 Februari atau sehari setelah rumahnya digeledah.

Usai diperiksa hingga delapan jam, dia tak memaparkan secara jelas apa saja yang ditanyakan penyidik. Namun, Ihsan mengatakan telah menjelaskan semua yang hal yang ia ketahui terkait kasus suap ini.

Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan sejumlah tersangka terkait dengan dugaan kasus korupsi bantuan sosial (bansos) paket sembako untuk pengananan COVID-19 di wilayah Jabodetabek termasuk mantan Menteri Sosial Juliari Batubara.

Selain Juliari, KPK juga menetapkan empat tersangka lainnya yaitu Pejabat Pembuat Komitmen di Kementerian Sosial (PPK) MJS dan AW sebagai penerima suap serta AIM dan HS selaku pemberi suap.