JAKARTA - Ibu Kota dilanda banjir sejak Kamis, 18 Februari hingga Jumat, 19 Februari. Jakarta Timur menjadi daerah yang tergenang banjir paling parah.
Namun, Pemprov DKI mengklaim kondisi banjir saat ini masih lebih baik dibanding periode lalu. Kemudian, penyebab banjir disebut karena curah hujan yang tinggi.
Menanggapi hal ini, Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Gembong Warsono menyebut, penanganan banjir di DKI belum bisa disebut berhasil secara signifikan.
Sebab, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjalankan program setengah-setengah. Terlebih, saat ini belum ada langkah konkret terkait program normalisasi sungai. Dampaknya, Jakarta masih kebanjiran tiap musim hujan.
"Maka ketika bicara penanganan banjir ini sepanjang Pemprov DKI tidak dapat melakukan normalisasi, saya rasa sulit untuk bisa mengatasi persoalan banjir. Jadi, kuncinya adalah normalisasi," kata Gembong saat dihubungi, Jumat, 19 Februari.
DKI memiliki lima program pengendali banjir, yakni Gerebek Lumpur, drainase vertikal (sumur resapan), pemeliharaan pompa, penanganan banjir rob melalui NCICD, dan pengelolaan sistem polder.
BACA JUGA:
Gembong mengaku program tersebut sebenarnya bermanfaat untuk mencegah banjir besar. Sayangnya, hasilnya tidak signifikan.
"Kalau gubernur dan wakil gubernur klaim program pengendalian banjir seperti grebek lumpur dan sumur resapan berhasil, ya enggak banjir lah harusnya. Jadi, apakah gerebek lumpur itu bermanfaat signifikan terhadap pengentasan banjir, saya kira tidak. Tapi, ya memang ada manfaatnya," jelas Gembong.
Menurut Gembong, selama Anies menjabat di DKI, Pemprov DKI belum menjalankan tugasnya secara nyata terhadap penataan kali dan sungai, baik program normalisasi maupun naturalisasi.
Namun, Gembong membeberkan bahwa Anies telah menganggarkan anggaran pembebasan lahan untuk program normalisasi atau naturalisasi sungai. Dana ini bersumber dari dana pinjaman pemulihan ekonomi nasional (PEN) dari pemerintah pusat.
"Praktiknya, normalisasi memang belum ada. Tapi, di anggaran 2021 itu memang ada, melalui dana PEN, Pemprov DKI sudah mau mulai mengerjakan itu (pembebasan lahan)," tuturnya.
Sebagai informasi, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI mencatat terdapat 99 RT di Jakarta yang terendam banjir sejak hari Kamis. Rinciannya, ada 3 RT di Jakarta Barat dan 96 RT di Jakarta Timur.
Kondisi ini berbeda dengan harapan Anies, di mana banjir dapat surut hingga enam jam. Terkait terkait durasi penanganan genangan dan banjir di Jakarta, Plt Kepala Pelaksana BPBD DKI Sabdo Kurnianto mengaku pihaknya sudah berupaya menuntaskan genangan dan banjir dalam kurun waktu 6 jam.
Namun, dia menegaskan, durasi 6 jam tersebut dihitung sejak hujan berhenti dan tidak ada lagi luapan Kali atau saluran.
"Mulai dihitungnya seperti itu, sejak tidak ada lagi luapan dan hujan juga sudah berhenti. Jika masih ada luapan dari Kali atau saluran, maka tidak bisa juga untuk mengaliri air," kata Sabdo dalam keterangannya.
Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta Yusmada Faizal menjelaskan penyebab banjir yang terjadi sejak kemarin hingga hari ini di sejumlah wilayah Jakarta, khusunya di Jakarta Timur.
Yusmada menjelaskan, curah hujan sejak kemarin hingga hari ini paling tinggi berada di kawasan Halim Perdanakusuma dengan 160 milimeter per hari, Manggarai dan Pasar Minggu 130 milimeter per hari, dan Sunter Hulu 107 milimeter per hari.
Sayangnya, sistem drainase di DKI dibangun dengan daya tampung curah hujan antara 50 sampai 100 milimeter per hari. Drainase di kawasan tersebut tak mampu menampung air dengan curah hujan yang tinggi sehingga mengakibatkan luapan air sampai pemukiman.
"Perlu diketahui, sistem drainase kita itu didesain berdasarkan curah hujan 50 sampai 100 mililiter per hari. Makanya, kalau terjadi hujan ekstrem sampai 160 milimeter, terjadilah meluap," jelas Yusmada.
Tapi, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria membandingkan jumlah lokasi pengungsian banjir saat ini dengan kondisi saat kepemimpinan Joko Widodo menjabat Gubernur DKI pada tahun 2013.
Pada banjir sejak Kamis, 18 Februari, terdapat 99 RT dari 30.470 RT yang terdampak banjir, jumlah lokasi pengungsian baru tercatat 2 lokasi.
"Kalau data sampai hari ini, kecil sekali jumlah pengungsian. Kalau melihat data dari tahun-tahun sebelumnya, terjadi penurunan signifikan," kata Riza.
"Pada tahun 2013 umpamanya, titik pengungsi ada 1.115. Tahun 2015 ada 337 pengungsian. Di tahun 2018 tidak ada pengungsian, tahun 2019 ada 13 titik, tahun 2020 ada 70 titik. Tahun 2021 sedang kita rekap, sementara ada 1 sampai 2 pengungsian," lanjut dia.
Riza juga membandingkan jumlah korban jiwa akibat bencana banjir. Pada tahun 2013 ada 38 korban jiwa, tahun 2018 1 jiwa, tahun 2019 2 jiwa, 2020 2 jiwa.
Prinsipnya, kata Riza, terjadi penurunan jumlah pengungsi dan korban jiwa yang cukup signifikan. Hal ini berkat upaya masyarakat Jakarta yang mendukung program-program pemerintah.
"Mudah-mudahan tahun 2021 ini tidak ada korban meninggal karena banjir. Warga yang terdampak juga demikian semakin berkurang, kelurahan terdampak dapat juga semakin berkurang, kecamatan terdampak juga berkurang," tuturnya.