Bagikan:

SOPPENG - Natu bin Takka (75) bersama anak dan iparnya di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan (Sulsel) divonis 3 bulan penjara. Petani ini dinyatakan bersalah menebang 55 pohon jati yang ditanam dalam kebunnya sendiri. 

"55 pohon jati yang ditebangnya di dalam kebun terdakwa," kata Kepala Divisi Hak Ekonomi Sosial Budaya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Ridwan kepada wartawan, Jumat, 19 Februari.

Ridwan yang juga penasihat hukum terdakwa, mengatakan kasus ini bermula saat petani Natu bersama anak serta iparnya menebang pohon jati yang dulu disebut masuk kawasan hutan lindung oleh pemerintah.

"Mula kasus ini tersebut Pak Natu bersama dengan anaknya serta iparnya, melakukan menebang pohon yang diduga klaimanya dulu bahwa lokasi tersebut masuk kawasan hutan lindung, sehingga sekitar bulan Februari 2020, itu didatangi oleh petugas dari Dinas Kehutanan," ungkapnya. 

Kakek Natu, anak dan iparnya dilaporkan hingga diproses hukum di Polres Soppeng. Sangkaannya penebangan pohon tanpa izin pejabat yang berwenang terkait, Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UUP3H).

Dalam persidangan, kakek Natu, anak dan iparnya dijatuhkan hukuman 3 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Watansoppeng pada Selasa, 19 Februari.

"Kemudian sampai dalam proses persidangan kemudian, pengadilan memutuskan bahwa terdakwa ini dinyatakan bersalah, melakukan penebangan pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin dari yang berwenang, kemudian divonis 3 bulan penjara," ungkap Ridwan.

Ketiganya didakwa melakukan pembalakan liar dengan cara menebang pohon, mengangkut dan membawa alat penebang kayu berdasarkan ketentuan.

Kakek Natu, anak dan iparnya didakwa Pasal 82 ayat (1) huruf b atau Pasal 82 ayat (2) atau Pasal 83 ayat (1) huruf a atau Pasal 84 ayat (1) atau Pasal 84 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). 

Padahal, petani tersebut menebang pohon untuk keperluan membangun rumah (Bukan Untuk Komersil).

"Tetapi ada beberapa fakta, yang terungkap dalam persidangan bahwa Pak Natu ini melakukan penebangan pohon bukan untuk komersil. Bukan diperjualbelikan, tetapi melainkan hanya ingin digunakan untuk bangun rumah anaknya, yang bernama Pak Aryo. Pak Aryo juga ini juga menjadi terdakwa dalam kasus tersebut” sambungnya. 

Selain itu kebun jati petani Natu sudah dikelola secara turun-temurun. Selama mengelola kebun tersebut. Setiap tahun, Natu aktif membayar PBB sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2020.

"Ia membayar pajak itu dari tahun 1997, bahkan dia terakhir menjalani proses hukum dia masih membayar di tahun 2020 di masih tetap membayar," ujarnya.

BACA JUGA:


Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan membuktikan bahwa perbuatan terdakwa tidak termasuk kualifikasi subjek hukum yang diatur dalam UU P3H. 

Pengacara menyebut perbuatan Natu tidak termasuk kategori tindak pidana. Apalagi, Natu dan anak serta iparnya termasuk masyarakat yang dikecualikan sesuai Pasal 1 angka 6 UU P3H.

"Bahwa ada beberapa fakta yang tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim. Misalnya adanya impunitas terhadap para terdakwa ini yang dikecualikan berdasarkan Undang-undang P3H sebagaimana diatur di dalam pasal 1 angka 6 ini dikecualikan yang tinggal secara turun temurun dalam kawasan itu yang melakukan penebangan untuk tidak komersil," ujar Ridwan.