Bagikan:

JAKARTA - Saksi Anang Achmad Latif menyebut Peraturan Direktur Utama (Perdirut) Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) tentang penentuan pemilik teknologi atau technology owner yang bakal menggarap proyek penyediaan menara base transceiver station (BTS) 4G ditentukan olehnya.

Pernyataan itu disampaikannya ketika bersaksi dalam kasus dugaan korupsi penyediaan insfrastruktur BTS 4G untuk Galumbang Menak, Irwan Hermawan, dan Mukti Ali.

Anang Latif menyampaikan perihal itu guna menanggapi pertanyaan tim kuasa hukum Mukti Ali soal adanya keterlibatan PT Huawei Tech Investment untuk membuat Perdirut tersebut.

"Apakah diatur terkait dengan teknologi owner dan jaringan tetap tertutup," tanya penasihat hukum dalam persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 27 September.

"Ya dalam Perdirut ini diatur persyaratan untuk peserta lelang yaitu salah satunya tentang teknologi owner dan pemilik izin jaringan tetap tertutup," jawab Anang

Lantas, Anang dipertanyakan mengenai adanya keterlibatan Huawei atau terdakwa Mukti Ali dalam penentuan pengaturan teknologi owner dan izin jaringan tetap tertutup tersebut.

Anang lantang menyebut tidak ada keterlibatan siapapun. Sebab, ia yang menentukan atau menetapkan persyaratan tersebut karena memiliki pengalaman puluhan tahun di bidang teknologi.

"Sama sekali tidak," sebut Anang.

"Siapa yang membuat saat itu? Apakah itu memang keputusan internal sendiri atau saudara saksi dibantu juga oleh konsultan kalo dalam BAP di sini saudara saksi katakan mendapat bantuan dari konsultan hukum?" timpal kuasa hukum Mukti Ali memastikan.

"Saya yang menetapkan persyaratan tersebut karena saya yang pengalaman saya 27 tahun di dunia telekomunikasi cukup meyakini bahwa ini adalah persyaratan yang tepat," jawab Anang.

Seolah menegaskan, penasihat hukum salah satu terdakwa kembali mengulang pertanyaannya perihal ada tidaknya keterlibatan pihak lain.

Anang pun mengamininya. Bahkan, konsultan yang dilibatkannya disebut menerima arahannya perihal persyaratan tersebut.

"Jadi tidak ada keterlibatan dari pihak lain?" tanya penasihat hukum Mukti Ali.

"Tidak ada, bahkan konsultan pun menerima arahan saya untuk menerima persyaratan ini," kata Anang.

Di sisi lain, Anang juga menilai proyek penyediaan menara BTS 4G tak menyebabkan kerugian negara Rp8,032 triliun seperti yang didakwakan jaksa penuntut umum (JPU).

Sebab, merujuk catatan laporan keuangan Kementerian Kominfo yang telah diiaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan, tower BTS yang telah selesai dicatat sebagai aset, sementara sebanyak 3.088 tower yang belum rampung masuk dalam aset Konstruksi Dalam Pengerjaan (KDP) senilai Rp7,3 triliun.

"Itu yang muncul catatan laporan keuangan itu basisnya adalah 31 Desember 2021," ungkapnya.

"Rp7,3 triliun yang masuk dalam aset KDP, tercatat statusnya sebagai aset," sambung Anang.

Kemudian, ketiga konsorsium disebut sempat mengembalikan yang senilai Rp1,7 triliun pada 31 Maret 2022. Kemudian ditindaklanjuti dengan membuat kontrak baru untuk melanjutkan perkerjaan yang belum rampung pada 1 April 2022.

Namun, sampai dengan 31 desember 2021 dari kontrak senilai Rp1,7 triliun, Bakti baru membayar Rp450 miliar. Sehingga, kata Anang, aset yang dimiliki senilai Rp10,8 triliun.

"Ya terbagi ada yang memamg aset selesai dan aset KDP tersebut Rp7,8 triliun," katanya.

Nilai aset itupun ditegaskan sudah melalui proses audit BPK yang terintegasi dengan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) pada 2021.

"Jadi kalo saya tanya, tidak ada kerugian yang 8 koma sekian triliun itu pernah tercatat?" tanya tim penasihat hukum.

"Menurut sepengetahuan saya tidak ada (kerugian)," jawab Anang.