Bagikan:

JAKARTA - Ahli epidemiologi dari Griffith University, Dicky Budiman menganggap strategi testing COVID-19 yang dilakukan oleh pemerintah selama ini salah.

Hal ini menanggapi pengakuan Menko Maritim dan Investasi sekaligus Wakil Ketua KPC-PEN, Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebut ada 2 juta hasil tes negatif COVID-19 yang terlambat dilaporkan.

Kata Luhut, 2 juta data negatif tersebut dapat membantu menurunkan angka positivity rate yang saat ini berada pada angka 17,9 persen. Positivity rate adalah hasil positif kumulatif dari jumlah orang yang dites swab PCR.

"Ada yang salah dalam strategi testing kita selama ini. Sebab, data yang terlambat dilaporkan menunjukkan inkonsistensi data di antara indikator penanganan COVID-19 di awal dan akhir," kata Dicky kepada wartawan, Minggu, 7 Februari.

Menurut Dicky, pengakuan Luhut soal data negatif yang terlambat dilaporkan dan mampu menurunkan positivity rate ternyata berbanding terbalik dengan hasil indikator telat penanganan COVID-19.

Maksudnya, saat ini angka kematian kasus COVID-19 di Indonesia masih di atas rata-rata dunia dan kapasitas tempat tidur rumah sakit rujukan COVID-19 yang menipis.

"Kalau melihat misalnya positivity rate-nya turun, rendah, sementara indikator telatnya tinggi, berarti asumsi lainnya adalah kita strategi testing kita salah. Angka kematian dan angka RS adalah fakta yang berbicara dan itu representasi permasalahan yang ada di bawah permukaan," ungkap dia.

Oleh sebab itu, Dicky menganggap pemerintah harus memperbaiki strategi 3T yakni tracing, testing, dan treatment. Sebab, data negatif yang menurut Luhut bisa menurunkan positivity rate, ternyata tidak membantu memperbaiki penanganan COVID-19.

"Kita harus evaluasi serius strategi 3T kita karena ada kesalahan target, mengingat orang yang dites ini negatif atau beberapa kali negatif dan ini tidak berkontribusi ke perbaikan situasi. Berarti ini harus dilakukan evaluasi," jelas dia.