Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah mengaku telah menyiapkan strategi terburuk jika kasus positif COVID-19 tembus hingga 100 ribu per hari. Hanya saja, pakar menganggap hal ini tak cukup karena apa yang harus dilakukan yaitu penguatan testing, tracing, treatment atau 3T untuk menangani pandemi ini belum dijalankan.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang juga Koordinator PPKM Darurat Luhut Binsar Pandjaitan mengungkap pihaknya telah menyiapkan skenario terburuk jika angka kasus COVID-19 menembus 100 ribu per hari.

Hal ini disampaikan setelah kasus COVID-19 mencapai hampir 50 ribu bahkan telah mencapai 50 ribu lebih pada Kamis, 14 Juli.

Melihat kondisi ini, epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menilai pemerintah saat ini hanya melakukan tindakan kuratif di mana hal ini justru membuat penanganan pandemi COVID-19 semakin parah.

"Dalam merespons situasi krisis (saat ini, red) yang harus ditingkatkan adalah 3T karena testing, tracing yang diikuti isolasi mandiri dan karantina itu yang akan mengurangi beban," kata Dicky kepada VOI, Jumat, 16 Juli.

"Ingat jangan terpaku pada hal kuratif karena tidak akan pernah cukup yang ada malah akan gede banget (penambahannya, red)," imbuhnya.

Dia mengatakan, testing di Indonesia harusnya mulai ditingkatkan menjadi 1,5 juta per hari. Karena, dengan pelaksanaan 3T maka angka kasus COVID-19 bisa menurun hingga setengahnya bahkan bisa lebih dari itu apalagi saat ini pembatasan ketat sudah dilakukan oleh pemerintah.

Pemerintah, sambung Dicky, harusnya bisa belajar dari India saat menangani penyebaran COVID-19 secara masif akibat varian Delta dengan meningkatkan jumlah tes mereka untuk menemukan kasus baru.

"Ketika testing (di India, red) naik dari 1,5 juta menjadi 9 juta sehingga kasus yang ditemukan lebih banyak dan karantina dilakukan, kebutuhan untuk tempat tidur, ICU, dan ventilator jadi menurun," ungkapnya.

Sehingga, meningkatkan 3T harusnya menjadi pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh pemerintah. Karena terus berkejaran menyiapkan fasilitas dengan kasus COVID-19 yang terus meningkat akibat penularan yang lebih cepat tidak akan cukup.

Apalagi penambahan fasilitas termasuk membuat rumah sakit darurat untuk menangani COVID-19 justru akan menimbulkan masalah baru yaitu sumber daya manusia (SDM). "Karena kan menambah bukan hanya sekadar tambah tapi harus dipikirkan bagaimana SDMnya, fasilitasnya, kemudian ada fasilitas pendukung lainnya. Ini bisa enggak terkejar," tegas Dicky.

Epidemiolog tak menampik peningkatan fasilitas kesehatan memang diperlukan. Tapi, Dicky juga menyinggung bagaimana saat ini tenaga kesehatan sudah kelelahan tapi masih harus diminta untuk bekerja lebih mengurusi rumah sakit darurat.

"Saya enggak sebutin rumah sakitnya, tapi ada yang mengeluh ke saya, 'dok, ini bikin rumah sakit darurat tapi SDMnya diminta lagi ke kita. Lah gimana'," ujar Dicky.

Atas alasan inilah, dia kemudian meminta pemerintah harus bekerja cepat untuk melaksanakan 3T secara masif sebagai langkah preventif. Termasuk mempercepat pemberian vaksin COVID-19.

"Strategi kesehatan masyarakat yang preventif untuk menemukan kasus secara cepat dan detail di sumbernya gimana? Caranya ya 3T, tracing, treatment kemudian dilanjut isolasi mandiri," katanya.

Sebelumnya, Luhut mengatakan ada sejumlah strategi yang disiapkan pemerintah untuk menghadapi 100 ribu kasus COVID-19 seperti menyiapkan rumah sakit hingga merekrut tenaga medis yaitu perawat dan dokter yang baru menyelesaikan pendidikannya.

Saat ini, kata dia, ada 20 ribu lebih perawat yang akan segera dilatih dan dipekerjakan. Sementara untuk dokter sudah direkrut sebanyak 2.000 orang yang baru lulus untuk segera dilatih dan dimobilisasi.

Tak hanya itu, pemerintah juga mensuplai obat-obatan gratis untuk pasien COVID-19 gejala ringan dan orang tanpa gejala (OTG). Adapun paket obat-obatan tersebut sudah disalurkan ke masyarakat per Kamis, 15 Juli. Rinciannya, pembagian paket itu sebanyak 10 persen dialokasikan buat paket orang tanpa gejala (OTG).

Kemudian, sebanyak 60 persen untuk paket gejala demam dan anosmia. Sedangkan sisanya sebanyak 30 persen merupakan paket untuk gejala ringan demam dan batuk.

Selain itu, Luhut juga mengatakan pemerintah sedang mendatangkan kebutuhan obat-obatan dari berbagai negara.

"Semua data ini kami on the right track. Ada beberapa obat yang diterbangkan dari berbagai negara. Tocilizumab ini mahal sekali tapi sudah dalam proses, begitu juga Remdesivir juga sudah diimpor," jelas Luhut dalam konferensi pers secara virtual, Kamis, 15 Juli.