Pedang Buta Tebas Corona
Ilustrasi (Raga Granada/VOI)

Bagikan:

Indonesia bukan hanya kecolongan pada Pasien 01, 02, 03, dan Seterusnya. Indonesia mungkin kehilangan ribuan bahkan jutaan kasus COVID-19. Hal ini terlihat dari positivity rate yang dalam hampir satu tahun selalu di atas ambang batas standar WHO. Tak memadainya jumlah testing jadi salah satu biang kerok mengapa pengendalian pandemi di Indonesia begitu buruk. Bahkan data pandeminya saja dianggap tidak valid. Penanggulangan pandemi macam apa yang tak didasari data valid? Masih bagian dari Tulisan Seri khas VOI"Setahun Pandemi, Sejuta Positif"

Pada pertengahan Februari lalu World Health Organization (WHO) membawa kabar gembira. Kasus COVID-19 global mingguan turun 16 persen. Namun, kabar itu tak berlaku umum. Wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia dianggap minim kontribusi terhadap angka penurunan tersebut. Lebih parah lagi, data kurva epidemiologi (epidemi) negara ini dianggap tidak laik dijadikan acuan karena tak valid.

Seminggu sebelum kabar baik itu muncul, WHO melaporkan ada 81.000 kematian akibat COVID-19 dan 2,7 juta kasus. Tujuh hari kemudian, tercatat lebih dari 500.000 kasus berkurang. 

Sayangnya kabar baik itu tidak berlaku umum. Epidemiolog yang sedang mengejar gelar PhD di Universtias Griffith, Australia, Dicky Budiman mengatakan kawasan Mediterania dan South-East Asia --yang Indonesia termasuk di dalamnya-- minim kontribusi terhadap angka pengurangan kasus COVID-19 global.

"Dari awal pandemi juga kita melihat data global kita bisa melihat kawasan lainnya, secara stabil berkontribusi sedikit dalam cakupan testing. Artinya juga dalam pelaporan data COVID-19 global, yaitu kawasan Mediterania dan South-East Asia. Ini termasuk Indonesia di dalamnya," kata Dicky saat dihubungi VOI.

Sebaliknya, dua benua yang paling berkontribusi terhadap angka penurunan kasus virus corona yakni Amerika dan Eropa. "Dua kawasan benua yang signifikan berkontribusi dalam kasus COVID-19 dunia, Amerika dan Eropa, selanjutnya Asia Timur, Asia Pasifik," ujar Dicky.

Indikator untuk menilai seberapa besar kontribusi terhadap penurunan kasus COVID-19, seperti dijelaskan Dicky adalah dengan melihat data awal pencapaian dan cakupan testing dan tracing. Karena itulah wilayah Mediterania dan South-East Asia sulit dianggap menjadi bagian dari tren penurunan COVID-19 global.

"Karena sejak awal wilayah ini (Mediterania dan South-East Asia) cakupan testing tracing jauh dari memadai. Belum sesuai dengan skala penduduknya dan juga belum sesuai dengan eskalasi dari pandeminya," jelasnya.

Dalam laporan WHO yang menyebut soal tren penurunan kasus COVID-19 global ini, Indonesia berada pada urutan kedua negara paling banyak kasus COVID-19, setelah India di regional South-East Asia. Dan Indonesia berada di urutan pertama negara yang paling banyak kasus kematian akibat COVID-19 mengangkangi India yang ada di urutan kedua. 

Data kasus harian COVID-19 RI (Sumber:covid19.go.id)

Data kasus harian bukan patokan

Memang bila melihat data kasus COVID-19 harian Indonesia, jumlahnya berkurang sejak beberapa hari belakangan. Dari awal Februari jumlahnya cenderung menurun. 

Pada 1 Februari, misalnya. Jumlah kasus harian COVID-19 tercatat sebanyak 10.994 kasus. Seminggu kemudian, 8 Februari, tercatat jumlahnya menurun menjadi 8.242 kasus harian. Datanya naik turun hingga mencapai terendah pada 28 Februari dengan 5.560 kasus.

Meski begitu, epidemiolog Dicky Budiman skeptis terhadap angka penurunan jumlah kasus harian COVID-19 tersebut. Terlebih soal angka rasio positif atau positivity rate yang hampir dalam satu tahun berada di atas 10 persen, melampaui ambang batas yang ditetapkan WHO. 

Angka positivity rate didapatkan dari jumlah kasus harian dibagi dengan jumlah pemeriksaan harian dan dikali 100. Untuk itu, data ini menjadi acuan, karena bukan hanya menghitung penambahan kasus per hari tapi juga membandingkannya dengan angka testing

"Jadi kalau ada penurunan kasus harian, yaitu hal yang tidak mengagetkan, karena testingnya tidak emningkat signifikan. Setiap epidemiolog sangat setuju bahwa tidak boleh setiap negara terpaku pada angka harian, karena tidak valid. Testing tracingnya rendah," jelas Dicky.

Seperti diketahui, WHO menetapkan standar pemeriksaan 1:1000 penduduk per wilayah dalam sepekan. Dengan populasi 270,2 juta jiwa, Indonesia sewajarnya memeriksa 270 ribu orang per pekan atau 12.960.000 per tahun atau 4,8 persen populasi. Namun sampai 1 Maret jumlah testing hanya berada pada angka 7.213.192 atau hanya 2,67 persen.

Selain positivity rate, Dicky menyebut angka kematian juga menjadi salah satu tolok ukur pengendalian wabah yang valid. "Angka kematian ini indikator valid tentang keparahan istuasi pandemi di suatu wilayah."

Infografik (VOI/Raga Granada)

Kurva COVID-19 Indonesia tak valid

Masalah data penanganan COVID-19 di Indonesia hampir tak pernah beres sejak awal pandemi. Padahal data tersebut merupakan hal paling fundamental untuk menentukan kebijakan pengendalian. Kini, sudah setahun pandemi di Indonesia bergulir, penanganan wabah seperti buta arah. Data kurva epidemiologis (kurva epidemi) yang kita punya tak bisa dijadikan acuan. 

Sebelum menyelami mengapa data kasus harian yang Indonesia miliki saat ini tidak layak untuk menjadi acuan, kita perlu mengingat kembali apa itu kurva epidemi. Apa yang membuatnya valid atau tidak valid?

Menurut CDC, secara umum kurva epidemi menggambarkan jumlah kasus baru dari waktu ke waktu. Sumbu Y (vertikal) menunjukkan jumlah kasus baru, sementara sumbu X (horisontal) mengindikasikan waktu analisis yang terkait dengan jumlah kasus baru.

Sementara itu, menurut Peneliti Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOUCRU), Iqbal Elyazar dkk dalam tulisannya di The Conversation, ada hal yang perlu diperhatikan sebelum membaca kurva epidemi. 

Pertama, dari sumbu X atau waktu analisis. Idealnya untuk COVID-19, kurva epidemi menggunakan patokan tanggal orang terinfeksi. Lalu yang kedua terkait jumlah kasus baru. Inilah yang perlu diperhatikan. Sebab selain mengetahui berapa banyak orang yang terinfeksi, juga harus mengetahui berapa jumlah orang yang dites sebelumnya. 

Sehingga semakin banyak pemeriksaan terhadap orang yang berisiko tertular COVID-19, semakin baik kurva epidemi menjelaskan realitas yang sedang terjadi. "Dengan kata lain besaran jumlah orang yang diperiksa menentukan seberapa besar derajat kepercayaan kita terhadap kurva epidemi," tulis Iqbal dkk. 

Kita ambil contoh negara berkembang yang didapuk berhasil menangani pandemi COVID-19, Vietnam. Sejak awal pandemi sampai pertengahan Oktober tahun lalu jumlah pelacakan atau test Indonesia tak pernah melampaui Vietnam. 

Seperti dicatat Our World in Data pada 15 Oktber 2020, dari 1.000 penduduk Vietnam memeriksa 12,95 orang. Sedangkan Indonesia hanya mengetes 8,96 orang.

Jumlah itu menunjukkan cakupan pemeriksaan Vietnam lebih besar dari Indonesia, sehingga penurunan kasus baru di Vietnam lebih meyakinkan karena mereka memeriksa lebih banyak orang yang berisiko. 

Data perbandingan testing Indonesia dan Vietnam (Sumber: Our World in Data)

Selain itu pada periode awal pandemi, dari sekitar 8.000 orang yang diperiksa, Vietnam menemukan 1 kasus positif COVID-19. Sementara Indonesia, dari 7 orang diperiksa, 1 kasus positif langsung ditemukan. 

"Artinya, klaim bahwa kasus baru telah turun di Vietnam lebih meyakinkan karena mereka telah berusaha keras mencari satu kasus positif saja. Sedangkan di Indonesia, satu kasus positif ditemukan cukup dengan memeriksa 7 orang. Dengan kata lain, masih banyak orang yang terinfeksi tetapi belum diperiksa," tulis Iqbal dkk. 

Tidak validnya data kurva epidemi Indonesia, tentu membawa dampak buruk bagi negara ini. Sebab alat visualisasi situasi penyebaran COVID-19 yang biasanya digunakan untuk menjelaskan perjalanan pandemi, menentukan sumber dan kapan terjadinya penularan, menentukan puncak pandemi, memperkirakan akhir pandemi, serta mengevaluasi efektivitas tindakan pengendalian menjadi tidak akurat.

"Sulit diprediksi, karena data kita itu tidak bagus. Soalnya testingnya tidak memadai, jadi kita tidak punya peta yang memadai," kata Epidemiolog Dicky Budiman. 

Dicky bilang, salah satu penyebab mengapa tes COVID-19 di Indonesia tak memadai adalah terkendala komitmen dan konsistensi. "Komitmen ini adalah strategi dalam pandemiyang berbasis sains, dan tentu sains ini pendekatan epidemiologi basic, yang memfokuskan pada aspek kesehatan sebagai fokus utama pengendalian," pungkasnya. 

Ikuti Tulisan Seri edisi ini: Setahun Pandemi, Sejuta Positif