Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut kebijakan penanganan pandemi COVID-19 kerap berubah karena perkembangan data. Meski begitu, pengamat mengingatkan apapun strategi yang dibuat harus mengutaman penguatan tracing, testing, dan testing atau 3T.

Melalui keterangan video yang ditayangkan di YouTube Sekretariat Presiden, Presiden Jokowi memaparkan alasan di balik kerap berubahnya aturan pembatasan kegiatan masyarakat demi mencegah penanganan pandemi COVID-19. Perubahan kebijakan, kata dia, kerap terjadi karena perkembangan penyebaran virus ini di Tanah Air.

"Kita tidak bisa membuat kebijakan (pembatasan, red) yang sama dalam durasi yang panjang. Kita harus menentukan derajat mobilitas masyarakat sesuai data hari-hari terakhir agar pilihan kita tepat, baik untuk kesehatan maupun perekonomian," kata Jokowi, Senin, 2 Agustus.

Meski aturan berubah, Jokowi mengatakan kebijakan penanganan COVID-19 saat ini bertumpu pada tiga pilar utama. Pertama adalah percepatan vaksinasi terutama di wilayah yang jadi pusat mobilitas dan kegiatan perekonomian.

Kedua penerapan protokol kesehatan yaitu memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Terakhir, adalah melaksanakan tracing, testing, dan treatment atau 3T.

"Termasuk menjaga BOR (keterpakaian tempat tidur atau bed occupancy rate), penambahan fasilitas isolasi terpusat serta menjamin ketersediaan obat-obatanan, dan pasokan oksigen," ungkapnya.

Senada dengan Jokowi, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga mengamini kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19 kerap berubah. Tapi, utak-utik strategi ini bukan hanya dilakukan oleh Indonesia melainkan negara lain.

Sehingga, dia mengingatkan siapapun termasuk elit politik tidak asal berkomentar sebelum mengetahui permasalahan yang ada dalam menangani pandemi ini.

"Sekarang Amerika pun sudah meningkat kasusnya dan mereka juga sudah mulai mengubah lagi strateginya," ujar Luhut.

Menanggapi hal ini, epidemiolog asal Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan tak ada yang salah jika strategi penanganan COVID-19 di Tanah Air terus berubah. Termasuk mengenai pembatasan kegiatan masyarakat demi mencegah penularan menjadi lebih masif.

"Kalau dalam konteks modifikasinya, kayak strateginya perlu pembatasan, pelonggaran itu memang perlu," ungkapnya saat dihubungi VOI.

Tapi, perubahan terhadap strategi inti seperti 3T terutama tracing untuk mencari kasus COVID-19 tak boleh berubah mengendur dan harus lebih diperkuat lagi.

"Strategi inti itu tidak ada yang beda, 3T, protokol kesehatan, dan vaksinasi itu. Tiga itu, trias," tegas Dicky.

Dia mengingatkan, pemerintah harus mengencangkan tracing dengan berupaya mencapai angka 1 juta pengetesan per hari. Tak perlu tes melalui polymerase chain reaction (PCR), kata Dicky, tes cepat atau swab test berbasis antigen harusnya bisa dilakukan Indonesia.

Apalagi, tes tersebut sebagai langkah untuk menekan positivity rate di Tanah Air. Nantinya, usai 1 juta tes per hari tercapai dan positivity rate bisa ditekan hingga paling tidak 3 persen barulah pengetesan diarahkan ke wilayah yang memang berpotensi terjadi klaster baru atau yang belum tuntas.

"Jadi tetap 3T, 5M, vaksinnya ada. (Itu strategi inti, red) sampai kita keluar dari pandemi," pungkasnya.