Bagikan:

JAKARTA - Kontraksi pertumbuhan ekonomi pada 2020 yang mencapai minus 2,07 persen menjadi torehan terdalam sejak krisis moneter 1998. Padahal, pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah melakukan upaya intervensi fiskal guna mengurangi turbulensi pemburukan ekonomi.

Tercatat, negara sudah menggelontorkan anggaran tidak kurang dari Rp579,9 triliun yang masuk dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN) 2020. Angka tersebut setara 83,4 persen dari pagu yang telah disiapkan sebesar Rp695,2 triliun.

Dalam praktiknya, penggunaan anggaran disebar ke enam pos strategis. Pertama adalah sektor kesehatan yang menyerap Rp63,51 triliun atau 63,8 persen dari pagu Rp99,5 triliun.

Kedua adalah aspek perlindungan sosial sebesar Rp 220,39 triliun atau setara 95,73 persen dari total Rp230,31 triliun. Untuk sektor ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan sempat menyebut bahwa jaminan perlindungan sosial yang diberikan selama masa pandemi sanggup menekan kemiskinan sebesar 8,9 persen dari prediksi 10,9 persen.

Ketiga adalah soal stimulus sektoral baik untuk kementerian/lembaga maupun pemda sebesar Rp66,5 triliun atau 98,1 persen dari pagu Rp 67,86 triliun. Dana ini dimaksudkan sebagai bantalan ekonomi daerah,khususnya sektor pariwisata.

Lalu keempat, dukungan bagi UMKM yang berjumlah Rp 112,4 triliun atau setara 96,6 persen dari anggaran Rp 116,3 triliun dengan tujuan memberikan bantuan permodalan baik melalui lembaga perbankan maupun langsung dikucurkan kepada pelaku usaha kecil.

Selanjutnya yang kelima adalah dukungan pembiayaan bagi BUMN korporasi dengan realisasi 100 persen sebesar Rp60,73 triliun. Anggaran ini menyasar pada proyek-proyek strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Terakhir adalah terkait insentif pajak yang terealisasi sebesar Rp56,12 triliun atau 46,53 persen total sebesar Rp120,6 triliun.

Dalam penggunaan dana PEN pemerintah sebenarnya berharap kegiatan ekonomi bisa bergerak atau setidaknya bertahan pada tahun pertama pandemi.

Namun, bagaimana sesungguhnya kondisi yang terjadi pada sepanjang tahun lalu menurut Badan Pusat Statistik (BPS)?

Pada hari ini Jumat, 5 Februari lembaga pimpinan Suhariyanto itu menyebut bahwa produk domestik bruto (PDB) 2020 atas dasar harga berlaku sebesar Rp15.434,2 triliun Rp56,9 juta perkapita.

Apabila dijabarkan, tekanan ekonomi terdalam menurut lapangan usaha terjadi hampir pada setiap sektor, seperti transportasi minus 15,04 persen, akomodasi minus 10,22 persen dan jasa minus 5,4 persen.

Lalu,jika menengok pertumbuhan dari sisi pengeluaran disebutkan bahwa 89,4 persen PDB 2020 berasal dari konsumsi rumah tangga dan investasi.

Adapun, pengeluaran konsumsi rumah tangga terkontraksi minus 2,63 persen. Hal ini terlihat dari pertumbuhan negatif penjualan eceran, impor barang konsumsi, dan penjualan sepeda motor yang mengindikasikan kemampuan daya beli masyarakat bawah.

Jadi, apakah dana PEN 2020 bisa dinilai efektif dalam mendukung pertumbuhan, khususnya sektor strategis konsumsi rumah tangga sebagai tulang punggung produk domestik bruto?