Bagikan:

JAKARTA - Awal 2020 menjadi cerita yang cukup kelam bagi seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Virus SARS COV2 atau yang lebih populer dengan sebutan Corona dan COVID-19 ini menyebar dengan cepat.

Di Indonesia, sampai detik ini ratusan ribu orang telah terjangkit. Bahkan, ribuan di antaranya meninggal dunia akibat keganasan virus itu. Pemerintah pun tak diam saja, berbagai langkah pencegahan penyebaran dilakukan. Salah satunya menerapkan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). 

Dalam aturan ini, semua aktivitas masyatakat diatur sedemikan rupa. Bahkan, bagi masyarakat yang bandel terancam hukuman pidana dengan merujuk Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan.

Upaya pemerintah tak hanya berhenti di situ. Pemerintah ikut berlomba dengan semua negara dalam mencari vaksin atau obat penangkal COVID-19. 

Hingga akhirnya, Indonesia mendapat vaksin yang merupakan produksi Sinovac, perusahaan asal China. Sekitar 1,2 juta dosis vaksin Sinovac didatangkan ke Tanah Air, 6 Desember lalu.

Tapi vaksi itu tak langsung didistribusikan kepada masyarakat. Sebab, vaksin itu bakal diuji klinis oleh PT Bio Farma (Persero).

Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, dengan adanya vaksin ini merupakan kabar baik dan harapan baru dalam penanganan pandemi COVID-19 di Tanah Air. 

"Hari ini pemerintah sudah menerima 1,2 juta dosis vaksin COVID-19. Vaksin ini buatan Sinovac yang kita uji secara klinis di Bandung sejak Agustus 2020 yang lalu," kata Jokowi beberapa waktu lalu.

Bahkan, Mantan Gubernur DKI Jakarta ini berujar, pemerintah sedang mengupayakan adanya penambahan vaksin. Diperkirakan, sebanyak 1,8 juta dosis akan tiba diawal Januari 2021.

"Selain vaksin dalam bentuk jadi, bulan ini akan tiba 15 juta dosis vaksin dan Januari 30 juta dosis dalam bentuk bahan baku yang akan diproses lebih lanjut oleh Bio Farma," tuturnya

Bahkan, 31 Desember pemerintah kembali mendatangkan 1,8 juta dosis vaksin Sinovac. Dalam rencana, vaksin itu bakal didistribusikan ke seluruh provinsi di Indonesia Januari 2021.

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan dalam pendistribusian vaksin ini bakal dilakukan secara merata. Sehingga program vaksinasi bisa segera dilaksanakan.

"Kami harapkan sebelum rakyat Indonesia kembali masuk bekerja di bulan Januari, InsyaAllah vaksin sudah bisa kita distribusikan ke 34 provinsi untuk kita bisa mulai program vaksinasi bagi para nakes kita," kata Budi.

Dia mengatakan, Presiden Jokowi selama ini sudah menugaskan jajaran menterinya untuk bekerja keras guna memastikan vaksinasi dapat dijalankan dengan segera dan secara menyeluruh. Bahkan, Budi mengatakan, kerja ini tidak lagi memandang hari libur.

"Hari Selasa kami menyampaikan rencana tersebut ke publik, hari Rabu kemarin Bio Farma sudah menandatangani perjanjian pemesanan 50 juta vaksin dari Astrazeneca dan Novavax, keduanya berasal dari Inggris dan juga Amerika, dan hari ini kita menyaksikan bersama datangnya batch kedua dari vaksin Sinovac ke Indonesia," ungkapnya.

Meski begitu, dia tetap meminta agar masyarakat tetap mematuhi protokol kesehatan demi mencegah penularan virus. Karena, vaksin yang menjadi strategi utama dalam penanganan COVID-19 ini masih perlu persiapan panjang bahkan hingga setahun ke depan.

"Dibutuhkan waktu lebih dari 12 bulan untuk kita menyelesaikan program vaksinasi ini. Untuk itu teman-teman, jangan lupa untuk selalu mentaati protokol kesehatan," tegasnya

Dengan adanya vaksin ini, tentu akan berpengaruh terhadap penanganan COVID-19 di Indonesia. Tapi pengaruh tak akan signifikan.

Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman mengatakan, salah satu faktor-nya karena jumlah vaksin yang ada saat ini masih sedikit jika dibandingkan dengan masyarakat Indonesia. 

"Dengan vaksin yang awal ini tentu tidak terlalu signifikan ya," ucap Dicky.

Sehingga, penularan COVID-19 masih bisa terjadi secara masif. Terlebih, potensi penularan terjadi pada saat proses vaksinasi. Sebab, nantinya akan ada kerumunan.

Untuk itu, Dicky menyebut pemerintah perlu memperhatikan proses vaksinasi di level komunitas yang lebih besar. Caranya, dengan membentuk komunikasi yang baik kepada masyarakat dan terus menggalakan penerapan Tracing, Testing, Treatment.

"Kita harus siapkan berbagai hal dengan 3T dan 5M dan juga termasuk meningkatkan cakupan potensi penduduk yang mau divaksin dengan cara strategi komunikasi kita perbaiki," ungkap dia.

Kemudian, Dicky juga mengatakan dengan jumlah vaksin yang terbatas, pemerintah harus memprioritaskan vaksinasi terhadap kelompok-kelompok yang rentan terpapar, misalnya para tenaga medis. Sebab, mereka merupakan pihak yang sering bersentuhan langsung dengan kasus positif.

Sehingga, bagi para tenaga medis vaksin ini bisa menjadi proteksi tambahan ketika berhadapan langsung dengan kasus COVID-19. Dengan begitu, kepercayaan diri mereka akan naik dan nantinya juga akan berpengaruh dengan penanganan kasus positif COVID-19.

"Ini bisa menambah proteksi," kata dia.

Tetapi, yang mejadi catatan penting. Meski saat ini sudah ada vaksi, Dicky juga mengimbau kepada masyarakat untuk tetap menerapkan protokol kesehatan. Sebab, hal ini menjadi kunci dalam pengendalian COVID-19.

Sementara bagi pemerintah juga tetap harus menerapkan dengan tegas semua aturan terkait protokol kesehatan. Alasannya aturan-aturan itu merupakan strategi utama dalam menghadapi masa pandemi COVID-19.

"Kalau karantian isolasi mau ada vaksin mau ada tidak, (tetap) harus dilakukan karena itu strategi utama kalau negara tidak menerapkan testing, tracing itu akan terjadi pandemi yang tidak terkendali," tegas dia.

Terlebih, jika merujuk data Kementerian Kesehatan tingkat penularan COVID-19 masih sangat tinggi dengan angka 15,1 persen. Padahal, WHO mengeluarkan angka minimal tingkat penyebaran di bahwa 5 persen.

Senada, Kriminolog dari Universitas Indonesia Ferdinand Andi Lolo juga menyebut jika penerapan aturan protokol kesehatan tetap harus dilakukan hingga COVID-19 benar-benar menghilang. Sebab, belum ada jaminan jika seserang yang sudah divaksin tidak akan terjangkit lagi.

"Jelas perlu. Selama masih ada situasi darurat kesehatan peraturan terkait mutlak berlaku," ucap Ferdinand.

Penerapan protokol kesehatan, kata Ferdinand, menjadi hal mutlak yang mesti dilakukan. Alasannya jika berkaca pada pelanggaran di 2020, masih banyak masyarakat masih saja seolah tak perduli dengan penyebaran COVID-19.

Untuk itu, penerapan aturan tentang protokol kesehatan dengan adanya sanksi tetap perlu diberlakukan. Tujuannya agar masyarkat patuh sehingga penularan COVID-19 bisa terkendali. 

"Sebenarnya lebih kepada pemaksaan kesadaran pada masyarakat, ancaman hukuman badan dan finansial dapat memaksa masyarakat untuk patuh," tegas dia.

Sementara jika dengan adanya vaksin dan pemerintah tak menerapkan aturan protokol kesehatan, Ferdinand menyebut penularan COVID-19 justru akan semakin tak terkendali. Ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya, salah satunya masyarakat masih belum percaya dengan vaksin itu.

"Jika diserahkan pada kesadaran sendiri, kesadaran masyarakat sangat rendah karena kurang tahu, tidak peduli dan termakan hoaks bahwa covid tidak nyata atau tidak berbahaya," kata dia.