Benarkah Calon Penerima Vaksin COVID-19 Gratis Harus Punya BPJS Aktif?
Ilustrasi (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan vaksin COVID-19 akan diberikan secara gratis. Belakangan, masyarakat diributkan dengan kabar syarat penerima vaksin harus memiliki keanggotaan BPJS Kesehatan yang masih aktif.

Kabar ini juga direspon oleh Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid lewat akun Twitternya @hnurwahid yang menanggapi berita soal penerima vaksin COVID-19 harus menjadi peserta BPJS Kesehatan. Dia mempertanyakan perihal kebenaran informasi pemberian vaksinasi ini.

"Baru saja Presiden Jokowi diapresiasi karena menyatakan, 'vaksin COVID-19 gratis untuk masyarakat, tidak dikenakan biaya sama sekali'. Tapi, jubir program vaksinasi sudah beda penjelasannya, 'vaksin COVID-19 gratis tapi harus jadi peserta BPJS Kesehatan'. Mana yang benar?" tulis Hidayat yang dikutip Jumat, 18 Desember.

Juru bicara vaksinasi COVID-19 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi menegaskan, vaksin COVID-19 gratis diberikan kepada seluruh masyarakat sesuai kriteria penerima vaksin. Kriteria penerima vaksin adalah berusia 18-59 tahun, tidak memiliki penyakit komorbid, tidak sedang hamil, dan belum pernah terinfeksi COVID-19.

"Vaksin gratis untuk semua masyarakat sesuai kriteria penerima vaksin. Jadi enggak ada hubungannya dengan BPJS," kata Nadia saat dihubungi oleh VOI, Jumat, 18 Desember.

Terkait kabar masyarakat penerima vaksin gratis harus memiliki BPJS aktif untuk mengakses layanan Primary Care (P-care) milik pihak BPJS, menurutnya, itu dimaksudkan untuk mendata ataupun mengambil data dari puskesmas atau fasilitas kesehatan tingkat pertama yang disatukan di dalam sistem informasi satu data. 

"Jadi enggak ada hubungannya dengan P-Care. P-Care itu hanya catatan pengobatan pasien saja," tegasnya.

Sementara, masyarakat yang tidak terdata di puskesmas atau fasilitas kesehatan tingkat pertama, pemerintah akan menggandeng Badan Pusat Statistik (BPS) untuk pendataannya.

Pemerintah, lanjutnya, juga memastikan setiap warga mendapatkan vaksin kepada pemegang KTP atau kepada mereka yang punya Nomor Induk Kependudukan (NIK).

"(Yang tidak terdaftar di Puskesmas, red) kan ada BPS. Kecuali memang dia enggak ada NIK," ungkapnya.

Distribusi vaksin lewat data KTP dikritik

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menilai kebijakan penggunaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) justru bisa salah sasaran. Menurutnya, membuat kebijakan tidak bisa hanya berdasarkan nama dan alamat, melainkan harus ada datanya secara lengkap.

"Bukan tidak tepat tapi malah bisa sasaran nantinya. Karena ini kan pemberiannya kalau dengan KTP, NIK kan by name, by addres. Kebijakan enggak boleh seperti itu," kata Trubus.

"Kalau vaksin ini kan kita punya dasar Kepres Nomor 11 Tahun 2020 tentang darurat kesehatann dan Kepres 12 Tahun 2020 tentang COVID bencana nasional. Jadi dari situ kita bisa lihat, pandemi COVID-19 ini kan bencana, darurat, makanya kalau vaksin atas dasar NIK itu jadi enggak relevan karena nanti bingung publik dan kesannya birokratis," sambungnya.

Dia menyarankan, vaksin ini sebaiknya didata dengan sistem dari bawah ke atas. Artiannya, pihak penyelenggara vaksin harusnya menggandeng pihak yang ada di sekitar masyarakat seperti RT/RW bahkan hingga organisasi masyarakat untuk melakukan verifikasi data sehingga lebih menjangkau ke semua pihak termasuk mereka yang tidak memiliki KTP.

"Jadi Dinkes atau Satgas COVID-19 harus kerja sama, koordinasi dengan RT dan RW. Mereka diajak kerja, dicatat, didata berapa warga yang sesuai dengan kriteria vaksin. Jadi RT/RW diberikan kewenangan dan pendataan bukan top down tapi bottom up," tegasnya.

"Libatkan tokoh agama, tokoh masyarakat. Ormas juga bisa dilibatkan. Untuk apa, untuk verifikasi data sehingga orang yang diberikan memang dalam posisi membutuhkan," pungkasnya.