Bagikan:

JAKARTA - Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menerima audiensi Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) BPN DKI Jakarta Wartomo di Balai Kota DKI Jakarta.

Wartomo mengungkapkan, pada tahun ini, pemerintah bersepakat menyelesaikan proses identifikasi masalah pertanahan di Jakarta. Menurutnya, identifikasi masalah menjadi kunci penting untuk rampungnya persoalan.

"Target tahun ini tentunya harus melalui identifikasi, yang dilakukan secara menyeluruh," kata Wartomo di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu, 18 Januari.

Wartomo menambahkan, pertemuan ini juga membahas validasi tanah serta upaya meningkatkan kolaborasi dan koordinasi dengan stakeholder yang ada ke depannya. Pada tahun 2023, Wartomo telah menargetkan sejumlah masalah yang akan diselesaikan.

"Nanti skala prioritasnya, harus dilakukan mana yang segera diselesaikan mana yang harus melalui kajian dengan masukan dari berbagai lintas sektor. Itu yang akan kita lakukan. Hasil dari identifikasi tadi dan itu yang kita lakukan," ungkap dia.

Sementara itu, Pj Gubernur Heru menekankan pengelolaan permasalahan tanah dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Untuk itu, perlu dilakukan identifikasi terhadap setiap masalah pertanahan di Jakarta.

"Pertemuan ini menyatukan semangat agar menyelesaikan berbagai permasalahan pertanahan dengan dilakukan bersama-sama. Lakukan juga identifikasi permasalahan sebaik mungkin," ungkapnya.

Sebelumnya, Heru juga telah melakukan pertemuan dengan BPN DKI pada Selasa, 25 Oktober 2022. Pertemuan tersebut membahas akselarasi proyek sodetan yang kini masih belum selesai. Rencananya, pemerintah akan melanjutkan pembangunan outlet sodetan di Bidara Cina.

Satu kendala yang dibahas dan paling menonjol adalah ketidakjelasan status kepemilikan lahan yang akan dibebaskan. Hal ini diungkapkan mantan Kepala Kantor Wilayah BPN Jakarta Dwi Budi Martono saat masih menjabat.

Dwi mengungkapkan, terdapat nama pemilik lahan yang berbeda-beda dari tiga jenis surat tanah pada lahan yang akan dibebaskan, yakni girik, surat izin penunjukan penggunaan tanah (SIPPT), dan hak guna bangunan (HGB).

"Jadi, di situ ada girik SIPPT, dan HGB. Dari situ yang akan kita gunakan sebagai outlet. Sebagiannya belum tau siapa pemilik sbnrnya dari 3 (surat) itu sbnrnya siapa yang paling berhak untuk dibayar. Apakah girik, pemegang HGB, atau pemegang SIPPT," ungkap Dwi.

Dwi menjelaskan, proses pembebasan lahan yang bersumber dari anggaran Kementerian PUPR ini tidak akan bisa dilakukan sebelum ada kejelasan semua status kepemilikan tanah.

Sementara, program ini perlu dilakukan dengan segera untuk meminimalisasi dampak banjir. Mengingat, Pj Gubernur Heru Budi mendapatkan mandat dari Presiden Joko Widodo untuk segera menyelesaikan masalah banjir dan kemacetan Jakarta sebagai prioritas.

Karenanya, Pemprov DKI bersama BPN DKI Jakarta memutuskan untuk mengambil jalur konsinyasi ke pengadilan. Dalam artian, ketika negosisasi pembebasan lahan dengan warga berujung buntu, Pemprov DKI bisa menitipkan biaya ganti rugi pembebasan lahan ke pengadilan dan langsung menggencarkan penggusuran.

"Karena belum diketahui siapa sebenarnya (pemilik lahan), kita tidak bisa, dong, bayar ke salah satu (pemilik surat tanah). Kita akan konsinyasi, sehingga nanti biar dibawa ke pengadilan dan project bisa jalan," papar Dwi.

"Kalau ada sengketa bisa dikonsinyasi, sehingga tanah sudah bisa dipakai. Mudah-mudahan itu juga bisa mengurangi banjir dengan adanya sodetan itu," lanjutnya.