Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap mengalami penurunan performa di bidang penindakan. Sebab, selama setahun di masa kepemimpinan Ketua KPK periode 2019-2023 Firli Bahuri, hanya ada 7 kali operasi tangkap tangan (OTT) untuk menjerat 37 tersangka korupsi. 

Pada periode kepemimpinan Firli, sejumlah nama yang ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka di antaranya mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo hingga mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara

Angka ini terhitung lebih sedikit dibandingkan dengan operasi senyap yang dilakukan pada tahun pertama Ketua KPK periode 2016-2019 Agus Rahardjo menjabat. Saat itu, pada setahun masa kepemimpinannya, komisi antirasuah berhasil melakukan OTT sebanyak 17 kali dan menetapkan 58 tersangka dari berbagai unsur seperti Ketua DPD Irman Gusman hingga anggota DPRD DKI Jakarta Mohammad Sanusi.

Ilustrasi (Ilham Amin/VOI)

Berikut daftar pejabat yang berhasil ditangkap KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri:

1. Bupati Sidoarjo Saiful Ilah

Bupati yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap terkait proyek infrastruktur di Kabupaten Sidoarjo ini menjadi pejabat pertama yang terjaring operasi senyap di masa kepemimpinan Firli. Saiful Ilah ditangkap KPK pada 7 Januari di Sidoarjo bersama belasan orang lainnya.

Dalam kasus ini, KPK juga menetapkan sejumlah pejabat di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum di Kabupaten Sidoarjo sebagai tersangka penerima suap yaitu SST, JTE, dan SSA. Sementara sebagai pemberi suap KPK menetapkan Ibnu Ghopur dan Totok Sumedi. 

KPK juga menyita barang bukti berupa uang senilai Rp1,8 miliar dan dalam perkara ini, Saiful telah dijatuhi vonis pidana selama tiga tahun.

2. Komisioner KPU Wahyu Setiawan

Pada 8 Januari, KPK melakukan OTT terhadap Wahyu di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Dia kemudian ditetapkan sebagai tersangka penerima suap yang berkaitan dengan penetapan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI 2019-2024 yang melibatkan caleg dari PDI Perjuangan Harun Masiku yang kabur dan belum diketahui keberadaannya hingga saat ini.

Dalam kasus tersebut, KPK menyebut, Wahyu menerima uang suap sebanyak Rp900 juta untuk membantu Harun menjadi anggota DPR menggantikan Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia.

Selain Wahyu, KPK juga menetapkan tersangka lainnya yaitu eks anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang juga orang kepercayaannya yaitu Agustiani Tio Fridelina sebagai penerima suap dan Harun Masiku serta Saeful Bahri yang disebut sebagai swasta namun merupakan kader PDIP sebagai tersangka pemberi suap.

3. Bupati Kutai Timur Ismunandar

Kepala daerah ini terjaring OTT KPK saat sedang berada di sebuah hotel di Jakarta pada 2 Juli. Selain Ismunandar, KPK juga menangkap belasan orang lainnya termasuk Ketua DPRD Kutai Timur Encek Unguria yang juga istrinya.

Selanjutnya, KPK menetapkan Ismunandar sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait pekerjaan infrastruktur di lingkungan Kabupaten Kutai Timur tahun 2019-2020 bersama istrinya, Encek dan enam orang lainnya. Tak hanya itu, tim penyidik juga menyita barang bukti berupa uang tunai senilai Rp170 juta, beberapa buku tabungan dengan total saldo mencapai Rp4,8 miliar serta sertifikat deposito sebanyak Rp1,2 miliar.

Saat ini, Ismunandar serta tersangka lainnya belum dijatuhi vonis dan kasus ini masih bergulir di pengadilan.

4. Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo

Edhy menjadi menteri pertama di Kabinet Indonesia Maju yang ditangkap oleh KPK. Dia ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten setibanya dari Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat usai melakukan kunjungan kerja pada 25 November.

Saat itu tim komisi antirasuah menangkap 17 orang termasuk istri Edhy yang juga anggota DPR RI Komisi V Iis Rosita Dewi. 

Setelah menjalankan pemeriksaan intensif, Edhy dan enam orang lainnya yaitu Stafsus Menteri KP Safri dan Andreau Pribadi Misata; pengurus PT Aero Citra Kargo Siswandi; staf istri Edhy, Ainul Faqih; Amiril Mukminin; dan Direktur PT Dua Putra Perkasa Suharjito ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait ekspor benur atau benih lobster. 

Dalam kasus ini, Edhy diduga menerima uang suap terkait izin ekspor benih lobster mencapai Rp9,8 miliar. Uang ini bahkan disebut sempat digunakan untuk berbelanja berbagai barang mewah seperti jam tangan merk Rolex, tas koper Tumi dan Luis Vuitton, tas Hermes, jam Jacob n Co, hingga baju dan sepeda jenis roadbike.

Kasus ini masih terus diusut oleh KPK sementara Edhy telah digantikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan baru yaitu Sakti Wahyu Trenggono.

5. Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna

Berselang dua hari, tepatnya pada 27 November, KPK kembali melakukan operasi senyap dan menangkap Ajay di Bandung, Jawa Barat beserta 9 orang lainnya. 

Setelah diperiksa intensif, KPK menetapkan Ajay sebagai tersangka penerima suap dalam kasus yang terkait izin pembangunan rumah sakit di Cimahi, Jawa Barat. Sementara sebagai pemberi suap, KPK menetapkan Komisaris RS Umum Kasih Bunda berinisial HY.

Dalam operasi senyap tersebut, KPK kemudian menyita uang sebesar Rp425 juta dan dokumen keuangan dari pihak rumah sakit.

6. Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo

Wenny yang menjadi calon petahana di Pilkada 2020 ditangkap oleh KPK di Banggai, Sulawesi Tengah pada 3 Desember. Dia ditetapkan sebagai tersangka penerima suap karena diduga memerintahkan orang kepercayaannya untuk membuat kesepakatan dengan pihak rekanan yang mengerjakan sejumlah proyek infrastruktur di Kabupaten Banggai Laut.

Selanjut, fee dari pengerjaan proyek tersebut digunakan untuk keperluannya di pilkada termasuk untuk memberikan serangan fajar.

Dalam operasi tangkap tangan ini, KPK menemukan uang Rp2 miliar yang dimasukkan ke dalam kardus, buku tabungan, bonggol cek, dan beberapa dokumen proyek. Selain itu, KPK juga menetapkan lima orang lainnya sebagai tersangka.

7. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kemensos Matheus Joko Santoso

Sebelum menetapkan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara sebagai tersangka penerima suap, KPK lebih dulu menangkap PPK Kemensos Matheus Joko Santoso pada 6 Desember lalu.

Selanjutnya, komisi antirasuah menetapkan sejumlah tersangka termasuk Juliari yang menyerahkan diri pada 7 Desember sekitar pukul 02.00 WIB. Dalam kasus ini, Juliari bersama dua pejabat PPK Kemensos Matheus dan Adi Wahyono ditetapkan sebagai penerima suap terkait pengadaan bansos COVID-19 di wilayah Jabodetabek.

Kasus ini berawal dari pengadaan bansos berupa paket sembako di lingkungan Kementerian Sosial senilai Rp5,9 triliun dengan total 272 kontrak yang dilaksanakan dua periode.

Kemudian, politikus PDIP ini menunjuk Matheus dan Adi sebagai PPK. Dalam pelaksanaan proyek, keduanya melakukannya degan cara penunjukkan langsung terhadap rekanan. Adapun untuk fee setiap paket bansos COVID-19 yang disepakati Matheus dan Adi sebesar Rp10 ribu dari nilai sebesar Rp300 ribu.

Matheus dan Adi lantas membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan penyediaan bansos pada Mei-November 2020. Rekanan yang dipilih adalah AIM, HS, dan PT Rajawali Parama Indonesia alias PT RPI yang diduga milik Matheus.

Dalam perkara ini KPK kemudian menduga Juliari menerima fee sebesar Rp8,2 miliar pada pelaksanaan paket bansos periode pertama. Sementara pada pelaksanaan kedua, dia diduga menerima fee sebesar Rp8,8 miliar yang digunakan untuk kepentingan pribadinya.

Meski berhasil menangkap dua menteri di Kabinet Indonesia Maju, namun, kinerja KPK sempat menjadi sorotan. Tak hanya itu, komisi antirasuah ini mengalami penurunan tingkat kepercayaan publik. 

Berdasarkan sejumlah hasil survei yang dikumpulkan VOI dari berbagai sumber, tingkat kepercayaan publik terhadap antirasuah memang mengalami penurunan. Salah satunya adalah hasil survei dari lembaga Indikator Politik. Pada Oktober, lembaga survei ini mencatat tingkat kepercayaan publik terhadap KPK mengalami penurunan hingga 73,2 persen. Padahal, pada Februari angkanya mencapai 81,3 persen.

Ilustrasi (Ilham Amin/VOI)

Sementara itu, dalam agenda 'Evaluasi Satu Tahun KPK, Penguatan Semu Pemberantasan Korupsi', Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai bidang penindakan lembaga antirasuah KPK sedang mengalami masalah. Padahal, bidang ini harusnya menjadi salah satu cara untuk memberikan efek jera bagi pelaku korupsi.

"Selama kurun waktu setahun kepemimpinan Firli Bahuri, KPK menuai banyak problematika pada aspek penindakan," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana seperti dikutip dari webinar yang ditayangkan di Facebook ICW.

Salah satu aspek penindakan yang disoroti oleh dirinya adalah turunnya angka OTT secara drastis dari tahun-tahun sebelumnya. Walaupun berhasil menangkap dua menteri di Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024, namun, OTT yang dilakukan di era Firli Bahuri hanyalah tujuh kali.

Sementara jika dibandingkan 2019 lalu KPK berhasil melakukan 21 OTT, 2018 ada 30 OTT yang dilakukan, 2017 ada 19 OTT, dan 2016 ada 17 OTT.

"Itupun satu tangkap tangan masih jadi problem karena pelakunya tak kunjung dapat diringkus oleh KPK," tegasnya merujuk pada seorang buronan KPK yaitu Harun Masiku.

Kurnia menilai, turunnya OTT ini disebabkan karena mayoritas pimpinan KPK periode ini justru kerap mengkritisi pola penindakan ini termasuk Firli Bahuri. Diketahui, saat uji kelayakan atau fit and proper test calon pimpinan periode ini di DPR RI, Firli memang mengakui dirinya sedih jika OTT terus terjadi dan menilai ada hal yang salah dengan digelarnya operasi ini.

"Kita tahu, pak, banyak orang ditahan karena OTT. Mohon maaf, karena OTT banyak sekali. Saya sedih, pak, melihatnya. Berarti ada sesuatu yang harus kita kerjakan," kata Firli saat itu.

Bukan hanya Firli, Nurul Ghufron yang kini menjadi Wakil Ketua KPK juga sempat menyebut operasi senyap ini sebagai hiburan belaka dan lebih memilih melakukan pencegahan.

"Sepanjang kami mampu mencegah akan kami cegah. Tapi kalau tidak mau maka akan kami tangkap. Jadi jangan tunggu KPK OTT dulu atau jebloskan ke penjara koruptor. Jadi OTT itu hanya hiburan saja. Sepanjang cara-cara pencegahan dilakukan tapi masih bandel ya kami tangkap," ungkap dia.

Sehingga berkaca dari hal ini, Kurnia menilai, wajar jika selanjutnya angka operasi senyap yang dilakukan KPK menjadi menurun. "Karena apa, kalau kita melihat lagi pada proses bekerjanya KPK di bawah kepemimpinan lima komisioner saat ini, maka kita dapat menemukan pernyataan-pernyataan dari pimpinan KPK yang memang sedari dulu mengkritisi tangkap tangan ini mlai dari adanya statment Firli Bahuri saat melakukan fit and proper test di DPR," ungkapnya.

Sejumlah PR lainnya yang belum selesai

Lebih lanjut, masih dalam webinar yang sama, Kurnia menyoroti penyelesaian tunggakan kasus besar di era kepemimpinan Firli. Setidaknya, ada beberapa kasus yang disinggungnya seperti korupsi pengadaan e-KTP yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun dan kasus penerbitan surat keterangan lunas terhadap obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan kerugian negara sebesar Rp4,58 triliun.

Tak hanya itu, kasus lain yang disinggungnya adalah kasus pembangunan pusat pelatihan dan pendidikan olahraga di Hambalang dengan nilai kerugian keuangan negara Rp463 miliar dan kasus dana talangan atau bailout Bank Century dengan nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp7,4 triliun.

"Di bawah kepempinan Firli Bahuri, KPK praktis tidak menyentuh perkara-perkara besar yang selama ini menjadi tunggakan di lembaga antirasuah tersebut," ungkapnya.

Selain itu, dirinya mengkritisi bertambahnya buronan korupsi di era kepemimpinan KPK Jilid V. Dari lima buronan yang belum ditangkap, ada dua yang tak jelas keberadaannya di era Firli Bahuri yaitu Harun Masiku dan Samin Tan.

Terakhir, dirinya juga mempertanyakan kewenangan supervisi dan pengambilalihan perkara yang tidak digunakan KPK dalam sengkarut kasus Djoko Tjandra yang ditangani Kejaksaan Agung dan Kepolisian.

"Tindakan KPK kala itu hanya sebatas melakukan supervisi semata, padahal dengan melandaskan pada beberapa pertimbangan, misalnya penanganan ditujukan untuk melindungi pelaku sesungguhnya atau adanya hambatan karena campur tangan kekuasaan, lembaga antirasuah dapat mengambil alih seluruh perkara," katanya.

Berkaitan dengan sejumlah hal yang disebutkan di atas, VOI telah menghubungi Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dan Nurul Ghufron untuk meminta tanggapan. Hanya saja, hingga berita ini ditulis, keduanya tidak menjawab pesan singkat yang dikirimkan.

Sementara Plt Juru Bicara KPK bidang Penindakan Ali Fikri menyebut pihaknya menghargai penilaian yang disampaikan oleh publik. Namun, untuk jawaban lebih lengkap dia meminta semua pihak menunggu laporan akhir tahun yang akan disampaikan oleh KPK.

"Pada akhir tahun 2020 ini akan kami sampaikan secara utuh kinerja KPK secara setahun dan saat itu akan kami sampaikan data terkait capaian hasil kerja tersebut," ujar dia.