JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak bisa sembarangan mengambil dugaan suap tambang batu bara ilegal di Kalimantan Timur (Kaltim) yang menjerat Ismail Bolong. Ada syarat yang harus dipenuhi sebelum mereka bisa mengusut kasus tersebut.
"KPK tidak bisa langsung mengambilalih perkara yang ditangani oleh APH (aparat penegak hukum) lain. Ada syarat-syarat yang ditentukan UU KPK untuk mengambilalih perkara," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata kepada wartawan, Sabtu, 17 Desember.
Setidaknya ada tiga syarat jika komisi antirasuah mengambil alih kasus sesuai peraturan perundangan. Pertama, jika dugaan korupsi tak mengalami kemajuan karena penanganannya berlarut.
"(Lalu, red) melindungi pelaku sebenarnya. (Dan) ada dugaan korupsi dalam penanganan perkara," ucap Alex.
Sementara itu, Polri membuka kemungkinan menggandeng KPK dalam mengusut dugaan suap tambang ilegal Ismail Bolong. Namun, koordinasi nantinya tetap berdasarkan alat bukti permulaan yang cukup.
"Sekali lagi, kalau itu memungkinkan akan bekerja sama dengan KPK dengan PPATK itu secara teknis penyidik. Itu semua koridor adalah bagaimana bukti-bukti yang didapatkan tim penyidik itu bisa ditindaklanjuti dan dilakukan proses penyelidikan dan penyidikan," ujar Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo kepada wartawan, Jumat, 16 Desember.
Namun, mengenai mekanisme atau teknis kerja sama dengan KPK, Dedi tak bisa merinci. Alasannya, mengenai hal itu merupakan kewenangan penyidik.
"Itu teknis penyidik, penyidik yg paling tahu tentang itu," sebut Dedi.
Sebelumnya, Ismail Bolong disebut mengatur kegiatan pertambangan ilegal di lingkungan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara atau PKP2B milik PT Santan Batubara (SB). Dia telah ditetapkan dan ditahan sebagai tersangka.
"IB berperan mengatur rangkaian kegiatan penambangan ilegal pada lingkungan PKP2B perusahaan lain dan menjabat sebagai Komisaris PT EMP yang tidak memiliki izin usaha penambangan untuk melakukan kegiatan penambangan," ujar Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Nurul Azizah.
BACA JUGA:
Sementara, untuk dugaan suap Ismail Bolong bermula munculnya dokumen laporan hasil penyelidikan (LHP) dengan nomor R/1253/WAS.2.4/ 2022/IV/DIVPROPAM, tanggal 7 April 2022. Hanya saja, Bareskrim Polri sejauh ini belum mengusut kasus dugaan suap Ismail Bolong.
Dalam dokumen itu, terdapat nama Komjen Agus Andrianto yang disebut menerima suap. Pada LHP yang diserahkan Kepala Divisi Propam Polri saat itu, Ferdy Sambo kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, tertulis Aiptu Ismail Bolong memberikan uang koordinasi ke Bareskrim Polri.
Penyerahan dilakukan kepada Kombes BH selaku Kasubdit V Dittipidter sebanyak 3 kali, yaitu Oktober, November, dan Desember 2021. Besaran pemberian mencapai Rp3 miliar setiap bulan untuk dibagikan di Dittipidter Bareskrim.
Selain itu, uang koordinasi juga diduga diberikan kepada Komjen Agus Andrianto selaku Kabareskrim Polri secara langsung di ruang kerja Kabareskrim dalam bentuk dolar Amerika Serikat. Pemberian dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu Oktober, November, dan Desember 2021 dengan nominal Rp2 miliar.