Kapolri Diminta Nonaktifkan Kabareskrim Soal Pengusutan Dugaan Suap Tambang Ilegal Ismail Bolong
ILUSTRASI DOK VOI

Bagikan:

JAKARTA - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo disarankan untuk menonaktifkan sementara Komjen Agus Andrianto sebagai Kabareskrim. Tujuannya, agar pengusutan dugaan tambang ilegal di Kalimantan Timur (Kaltim) berjalan transparan dan objektif.

"Kapolri harusnya sejak dari kemarim menonaktifkan sementara Kabareskrim supaya prosesnya bisa lebih objektif dan bisa dipertanggungjawabkan kepada publik," ujar Pakar Hukum Pidana Universitas Mataram, Ufran, kepada wartawan, Senin, 26 Desember.

Saran penonaktifan itu lantaran nama Komjen Agus Andrianto disebut dalam laporan hasil penyelidikan (LHP) Divisi Propam. Ia disebut menerima uang Rp6 miliar dari Ismail Bolong.

Selain itu, disarankan juga agar Polri terus mendalami keterangan-keterangan dari Ismail Bolong. Sebab, banyak nama lain yang diduga terlibat penerimaan suap.

"Harusnya nyanyian dari Ismail Bolong diatensi dengan serius khususnya oleh Kapolri. Apalagi menyebutkan nama Kabareskim terlibat menerima sejumlah uang suap dari tambang ilegal," sebutnya.

Dengan munculnya berbagai dugaan pelanggaran yang melibatkan anggota Polri, diharapkan menjadi momentum bagi Korps Bhayangkara untuk membersihkan oknum-oknum.

Sehingga, institusi Polri akan menjadi lebih baik dan mendapat kepercayaan masyarkat.

"Kapolri dengan berbagai skandal yang mencuat di tubuh Polri akhir-akhir ini agar menengok kedalam secara lebih serius untuk memerangi korupsi polisi. Karena tanpa polisi bersih tidak akan ada keberhasilan pemberantasan korupsi," kata Ufran.

Sebagai informasi, Polri belum mengusut dugaan suap Ismail Bolong ke beberapa pejabat Korps Bhayagkara.

Polri hanya membuka kemungkinan untuk menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pengusutan kasus tersebut.

Untuk Ismail Bolong, dia hanya ditetapkan sebagai tersangka pengelolaan tambang secara ilegal bersama dua rekannya, BP dan RP.

Tersangka BP selaku penambang batu bara tanpa izin atau ilegal. Sedangkan, untuk RP sebagai kuasa direktur PT EMP,

Ketiga tersangka dijerat dengan pasal 158 dan 161 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.

Penyidik juga menjerat tersangka dengan pasal 55 ayat (1) KUHP tentang penyertaan.