JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak mengambil alih dugaan suap pertambangan yang menjerat Ismail Bolong dari Polri. Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menilai KPK bisa bergerak untuk menyelesaikan kasus itu.
"Semestinya KPK ambil alih. Kalau tunggu untuk diserahkan akan sulit," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada wartawan, Senin, 19 Desember.
Kasus Ismail Bolong dinilai Boyamin sudah tepat diambil KPK. Dia menduga pengusutan yang dilakukan Polri hanya menyasar pada level bawah.
Selain itu, ada kecenderungan kasus ini akan diurus ala kadarnya oleh pihak kepolisian. "Diduga tidak menyasar pelaku sesungguhnya," tegasnya.
"Ada upaya-upaya pengerdilan perkara setoran-setoran hanya menjadi (dugaan, red) tambang ilegal," sambung Boyamin.
KPK sebelumnya telah menyatakan tak akan sembarangan mengambil dugaan suap tambang batu bara ilegal yang menjerat Ismail Bolong. Ada tiga syarat yang ditentukan oleh perundangan.
Pertama, jika ada dugaan korupsi tak mengalami kemajuan karena penangannya berlarut. Berikutnya, ada upaya melindungi pelaku utama.
"Dan ada dugaan korupsi dalam penanganan perkara," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata kepada wartawan, Sabtu, 17 Desember.
Sementara itu, Polri membuka peluang untuk menggandeng komisi antirasuah dalam upaya pengusutan dugaan suap tersebut. Hanya saja, langkah ini bakal dilakukan setelah barang bukti dinyatakan cukup.
"Sekali lagi, kalau itu memungkinkan akan bekerja sama dengan KPK dengan PPATK itu secara teknis penyidik. Itu semua koridor adalah bagaimana bukti-bukti yang didapatkan tim penyidik itu bisa ditindaklanjuti dan dilakukan proses penyelidikan dan penyidikan," ujar Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo kepada wartawan, Jumat, 16 Desember.
Dalam kasus ini, Ismail Bolong disebut mengatur kegiatan pertambangan ilegal di lingkungan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara atau PKP2B milik PT Santan Batubara (SB). Dia telah ditetapkan dan ditahan sebagai tersangka.
"IB berperan mengatur rangkaian kegiatan penambangan ilegal pada lingkungan PKP2B perusahaan lain dan menjabat sebagai Komisaris PT EMP yang tidak memiliki izin usaha penambangan untuk melakukan kegiatan penambangan," ujar Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Nurul Azizah.
BACA JUGA:
Selain itu, Ismail juga diduga terkait dengan kasus suap. Dugaan bermula setelah muncul dokumen laporan hasil penyelidikan (LHP) dengan nomor R/1253/WAS.2.4/ 2022/IV/DIVPROPAM, tanggal 7 April 2022. Hanya saja, Bareskrim Polri sejauh ini belum mengusut kasus dugaan suap Ismail Bolong.
Dalam dokumen itu, terdapat nama Komjen Agus Andrianto yang disebut menerima suap. Pada LHP yang diserahkan Kepala Divisi Propam Polri saat itu, Ferdy Sambo kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, tertulis Aiptu Ismail Bolong memberikan uang koordinasi ke Bareskrim Polri.
Penyerahan dilakukan kepada Kombes BH selaku Kasubdit V Dittipidter sebanyak 3 kali, yaitu Oktober, November, dan Desember 2021. Besaran pemberian mencapai Rp3 miliar setiap bulan untuk dibagikan di Dittipidter Bareskrim.
Selain itu, uang koordinasi juga diduga diberikan kepada Komjen Agus Andrianto selaku Kabareskrim Polri secara langsung di ruang kerja Kabareskrim dalam bentuk dolar Amerika Serikat. Pemberian dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu Oktober, November, dan Desember 2021 dengan nominal Rp2 miliar.