Halte Bundaran HI Langgar Prosedur Cagar Budaya, Transjakarta Bisa Digugat Warga
Halte Transjakarta Bundaran HI. (Diah-VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua Tim Sidang Pemugaran (TSP) DKI Jakarta Boy Bhirawa menyebut Halte Transjakarta Bundaran HI yang kini direvitalisasi melanggar prosedur terkait pelestarian cagar budaya.

Sebab, desain Halte Bundaran HI yang baru nanti disebut akan menghalangi pandangan Patung Selamat Datang Bundaran HI. Hal ini, kata Boy, juga berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

"Betul, (Halte Bundaran HI) berpotensi melanggar undang-undang," kata Boy kepada wartawan, Kamis, 29 September.

Hal ini merujuk pada Pasal 55 UU Cagar Budaya yang menyebut bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan upaya pelestarian cagar budaya.

Hanya saja, menurut dia, muatan regulasi dalam UU Cagar Budaya memang tidak mengatur secara rigiditas soal penghalangan visual dari kawasan Bundaran HI yang ditetapkan sebagai objek diduga cagar budaya (ODCB) tersebut.

"Memang umumnya tidak tercantumkan secara jelas, hanya tidak boleh terhalangi. Tapi, visual ini juga mesti dicek lagi apakah secara implisit dinyatakan seperti itu. Tapi, kalau secara etika terhadap cagar budaya itu masalah. Kalau etika kan memang tidak semuanya bersifat aturan yang jelas dan detail," urai Boy.

Meski begitu, dari kondisi ini, masyarakat yang berpendapat Halte Bundaran HI melanggar aturan bisa melakukan gugatan class action kepada PT Transjakarta.

"Yang paling mungkin adalah apakah ada keberatan dari warga kota atas keberadaannya. Kalau ada tuntuntan benar adanya, tinggal nanti dibuktikan apakah dia mampu class action, diterima sebagai sebuah keberatan warga, ada tanda tangan banyak untuk referendum, keberatan keberadanya," jelas dia.

Lebih lanjut, Boy memandang, PT Transjakarta seharusnya meminta rekomendasi dari TSP dan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) sebelum melakukan konstruksi revitalisasi halte di dekat kawasan cagar budaya. Rekomendasi ini dihasilkan dari kajian para ahli.

"Jadi seharusnya memang semua objek diduga cagar budaya itu melalui (rekomendasi) Tim Sidang Pemugaran," ujar Boy.

Belum lagi, akan ada unsur komersialisasi yang akan dijalankan, yakni tenant-tenant, ketika halte ikonik tersebut beroperasi. Komersialisasi pada sekitar kawasan cagar budaya jelas menyalahi etika.

"Dalam kasus halte ini memang tdk ada bangunan yang dirusak. Kondisi visual (Patung Selamat Datang) yang terhalang ini tidak secara implisit dinyatakan, tapi harusnya ini secara saintifik dipahami," ucap Boy.

"Kalau enggak, semua stakeholder berebut ruang publik untuk saling menonjol dan saling mencari untuk sumber pendapatan, menjadi komersial," tandasnya.