Bagikan:

JAKARTA - Kejaksaan Agung memaparkan kinerja selama satu tahun di bawah kepemimpinan ST Burhanuddin. Diantaranya, menghentikan 101 perkara pidana ringan secara keadilan yang restoratif atau restorative justice.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Hari Setiyono mengatakan, penghentian penuntutan secara restoratif ini ditandatangani Jaksa Agung ST Burhanuddin pada 21 Juli. Penghentian ini sesuai dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

"Tindak lanjut pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative yang telah dilakukan oleh jajaran kejaksaan sebanyak 101 perkara," ucap Hari kepada wartawan, Senin, 26 Oktober.

Hari merinci, 101 perkara itu diantaranya 97 perkara dengan korban perorangan dan 4 perkara dengan korban perusahaan atau lembaga negara.

Penyelesaian perkara dengan cara itu bertujuan untuk menyesuaikan pergeseran paradigma masyarakat yang sebelumnya keadilan retributif (pembalasan) menjadi keadilan restoratif.

"Tentu saja hanya tindak pidana tertentu yang dapat dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif," kata dia.

 

Beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam penyelesaian perkara secara restorative justice antara lain tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun, dan barang bukti atau nilai kerugian perkara tidak lebih dari Rp2,5 juta.

Selain itu, dalam pelaksanaanya pun harus melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait.

"Penyelesaian perkara-perkara kecil (trivial case) dan perkara yang mungkin diselesaikan dengan perdamaian," kata dia.

Dengan menggunakan cara penyelesaian itu bisa membantu mengurangi penumpukan dan perkara di pengadilan. Sehingga pengadilan bisa berkonsentrasi dalam menyelesaikan kasus besar yang merugikan masyarakat, menghemat waktu dan angggaran, sehingga hukum menjadi efisien.