Airlangga Hartarto Dorong Pembentukan LPI, Lembaga Pengelola Investasi yang Butuh Modal dan Aset Besar
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. (Foto: Setkab)

Bagikan:

JAKARTA - Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja telah disah-kan menjadi undang-undang pada sidang paripurna sore tadi. Pemerintah berharap, kehadiran regulasi sapu jagat ini dapat memudahkan investasi untuk masuk ke Indonesia. 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan, dalam Omnibus Law, DPR dan pemerintah sepakat untuk membentuk lembaga pengelola investasi (LPI).

"Pemerintah diharapkan bisa mengundang investasi dari negara-negara sahabat, lembaga internasional, dan korporasi," katanya, dalam sidang paripurna, di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senin, 5 Oktober.

Meskipun ada lembaga pengelola investasi, Airlangga menegaskan, bahwa lembaga tersebut tidak akan bergerak secara bebas. Lembaga ini bakal diawasi oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

"Tentunya kehadiran lembaga ini diawasi sesuai undang-undang yang ada," katanya.

Seperti diketahui, bahwa tidak semua fraksi menyetujui pengesahan RUU Cipta Kerja di tengah kondisi pandemi COVID-19 ini. Dari 9 fraksi ada dua yang menolak yaitu Fraksi PKS dan Demokrat.

Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini mengatakan, ada beberapa hal yang melatarbelakangi pihaknya menolak ikut serta pembahasan dan pengesahan regulasi sapu jagat tersebut. Salah satu alasanya karena adanya pembentukan lembaga investasi.

Jazuli berjuar pembentukan LPI berpotensi bertentangan dengan konstitusi dan supremasi hukum karena substansi pengawasannya menutup ruang pengawasan dan audit keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta memberikan imunitas bagi pengurus dan pejabat pengambil kebijakan yang tertuang dalam pasal 153 dan 154.

"Ketentuan tersebut juga bertentangan dengan prinsip equality before the law sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi. Ketentuan pemberian imunitas bagi penyelenggara negara serta minimnya mekanisme kontrol dan pengawasan dalam sistem kelembagaan negara sangatlah berbahaya," tuturnya.

Menurut Jazuli, apabila diterima dan menjadi preseden buruk dalam praktik kenegaraan. Hal demikian tidak dapat diterima jika kewenangan dan penguasaan alokasi sumber daya ekonomi yang sedemikian besar melalui LPI ternyata kebijakannya tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat Indonesia.

"Kita tentu tidak lupa pada pernyataan sekaligus peringatan dari Lord Acton (John Emerich Edward Dalberg-Acton), seorang Begawan Hukum dan Politik berkebangsaan Inggris 'power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely'," jelasnya.

Sebelumnya, Anggota Perumus LPI sekaligus Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) Robertus Bilitea menjelaskan, jika rancangan LPI disetujui untuk masuk dalam UU Cipta Kerja, lembaga ini akan membutuhkan modal dan aset. 

Sumber modal dan aset yang dimaksud akan berasal dari dua kementerian, yakni Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan. Robertus mengatakan, jumlah modal dan aset untuk pengelolaan dana abadi alias sovereign wealth fund ini (SWF) cukup besar.

Untuk itu, dalam pelaksanaannya secara harian LPI akan dijalankan oleh dewan direksi. Namun, sekaligus dikawal oleh dewan pengawas yang termasuk di dalamnya Menteri BUMN Erick Thohir dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.