Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta masalah penggunaan air tanah di Kawasan Industri Medan (KIM) segera dibereskan. Seluruh pemangku kebijakan diminta menegakkan aturan yang ada untuk menyelesaikan persoalan ini.

Hal ini disampaikan Direktur Koordinasi dan Supervisi wilayah I KPK Didik Agung Widjanarko dalam Rapat Koordinasi (Rakor) yang digelar pada, Kamis, 17 Maret kemarin.

“Apabila ada penyimpangan yang berdampak pada kerugian negara atau ada pihak yang tidak bisa diatur, ya tegakkan aturannya," kata Didik seperti dikutip dari keterangan tertulis, Jumat, 18 Maret.

KPK memang sedang melakukan koordinasi serta monitoring pelaksanaan tugas dan tanggung jawab para pihak terkait.

Apalagi, berdasarkan laporan yang diterima komisi antirasuah, penerimaan pajak daerah yang seharusnya disebut pajak air tanah, pada kurun waktu Desember 2017 hingga November 2018 sebesar Rp7 miliar dari 68 perusahaan yang membayarkan. Pembayaran pajak tidak dilanjutkan karena berbagai alasan salah satunya perizinan.

Terhadap permintaan ini, Wakil Gubernur Sumatera Utara Musa Rajeksah mengatakan ada 437 perusahaan yang berada di kawasan industri tersebut. Rinciannya, 171 perusahaan yang tercatat menggunakan meteran air permukaan yang diproduksi melalui mitra kerja KIM yakni PT DCC.

Kemudian, terdapat 1 perusahaan yaitu PT GA yang memproduksi dan menggunakan sendiri air permukaannya. Terakhir, terdapat 112 perusahaan yang menggunakan air dari PDAM Tirtanadi Provinsi Sumut.

“Dari data tersebut, dapat digambarkan bahwa terdapat selisih perusahaan yang tidak menggunakan air permukaan sebanyak 153 perusahaan. Diperkirakan sebanyak 153 perusahaan diduga mengambil dan menggunakan air tanah secara tidak sah karena tidak mempunyai meteran air permukaan,” ungkapnya.

Rajekshah kemudian mengasumsikan jika 153 perusahaan itu menggunakan air tanah secara ilegal maka perhitungan potensi kerugian daerah pada tahun 2021 adalah minimal sekitar Rp313 Juta.

Pokok permasalahan terkait air tanah di Sumut, jelas Rajekshah, merujuk pada pasal 39 ayat 1 huruf c PP No 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri yang secara tegas melarang perusahaan industri mengambil air tanah di kawasan industri.

Regulasi terdahulu, yaitu PP No 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri, sambung dia, sebenarnya mengatur hal yang sama. Hanya saja, diduga ada beberapa perusahaan melakukan penyimpangan atas aturan tersebut.

Melengkapi Rajekshah, Direktur Pendapatan Daerah Kemendagri Hendriwan menegaskan lembaganya siap mendukung dari segi aturan berdasarkan kesepakatan bersama dalam rakor. Ia juga menjelaskan bahwa salah satu postur APBD, selain dana transfer, adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Komponen PAD ini, lanjut Hendriwan, ada pajak dan retribusi yang mempunyai kontribusi sangat besar kepada pemerintah daerah untuk membangun daerahnya supaya dapat mandiri dan mensejahterakan rakyat.

“Terkait pajak daerah ini, memang bersifat memaksa. Apabila nanti ada orang pribadi atau badan yang sudah melakukan kegiatan seperti pengambilan atau pemanfaatan air tanah, maka menjadi objek pajak dan harus dipungut pajaknya,” ujar Hendriwan.

Hendriwan menambahkan pajak air tanah adalah pajak pemerintah kabupaten/kota di mana pemberian izinnya merupakan kewenangan Provinsi. Dasar pungutannya ditetapkan di peraturan daerah. Untuk badan usaha yang belum memiliki izin, tetap harus membayar pajak.

Adapun pihak yang hadir dalam rapat tersebut adalah Wakil Gubernur Sumatera Utara Musa Rajeksah, Direktur Pendapatan Daerah Kemendagri Hendriwan, dan Direktur Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian Adie Rochmanto Pandiangan.

Selain itu, hadir juga Direktur Utama PT KIM (pengelola kawasan Industri) Ngurah Wirawan serta jajaran Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut dan jajaran Pemerintah Kabupaten Deli Serdang.