Buruh Pabrik Non Esensial Bekerja 100 Persen, Presiden KSPI Said Iqbal Sebut Aturan Antar Kementerian Jokowi Tidak Sinkron
Presiden KSPI, Said Iqbal. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan survei, hasilnya menunjukkan bahwa masih banyak pabrik yang melanggar aturan di masa PPKM Level 4. Salah satu yang dilanggar adalah jumlah pekerja atau buruh yang masuk tak dibatasi, artinya bekerja 100 persen.

Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan survei dilakukan kepada sejumlah buruh yang mewakili 1.000 pabrik yang bergerak di sektor tekstil, percetakan, ritel, logistik, transportasi, elektronik, energi, pertambangan, farmasi, serta besi dan baja.

Kata Iqbal, terdapat lima pertanyaan yang diajukan kepada para pimpinan serikat pekerja atau buruh di tiap perusahaan itu. Salah satunya terkait operasional pabrik. Apakah pabrik atau perusahaan masih bekerja 100 persen atau tidak hingga bagaimana pengaturan kerja jika tidak beroperasi 100 persen.

"Semua pabrik-pabrik non esensial itu menjawab 100 persen masih bekerja buruh atau pekerjanya. Jadi 99 persen kuesioner dijawab buruh masih bekerja 100 persen," katanya dalam konferensi pers secara virtual, Senin, 26 Juli.

Iqbal mengatakan penyebab itu bisa terjadi karena kebijakan yang tak sinkron antara Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi selalu komando PPKM Jawa-Bali, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai komando PPKM luar Jawa-Bali, dan Kementerian Perindustrian sebagai pihak yang mengeluarkan izin operasional dan mobilitas kegiatan industri (IOMKI).

"Masalah utama mengapa 99 persen pabrik yang kami survei tetap beroperasi 100 persen karena setiap pabrik menunjukkan kepada serikat pekerja bahwa mereka punya izin dari Kementerian Perindustrian," jelasnya.

Lebih lanjut, kata Iqbal, para pemilik pabrik selalu menunjukkan izin operasional dari menteri perindustrian. Bahkan di pabrik tak ada istilah kerja dari rumah atau work from home (WFH) 50 persen bagi para buruh. Padahal, di IOMKI juga diatur mengenai jumlah tenaga kerja yang masuk.

"Dalam IOMKI itu diatur harus WFH 50 persen, WFO 50 persen, faktanya tidak," tuturnya.

Karena itu, menurut Iqbal, penerapan PPKM Level 4 di pabrik tak berjalan efektif. Menurut dia, pemerintah harus membenahi aturan yang tak sinkron tersebut.

"Penyebab faktor utamanya tidak sinkronisasi antara pemerintah atau dengan antar menteri. Jadi jangan hanya rakyat saja diatur. Menterinya diatur jugalah. Kami minta hentikan itu pemberian IOMKI, kalau benar-benar mau tegakkan aturan cegah penyebaran COVID-19," tandasnya.