Ipda Yusmin-Briptu Fikri Lepas dari Jerat Pidana KM 50, Muannas Alaidid Bersyukur: Sejak Awal Tak Pantas jadi 'Pesakitan'
Direktur Eksekutif Komite Pemberantasan Mafia Hukum (KPMH) Muannas Alaidid (Foto: psi.or.id)

Bagikan:

JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan dua polisi terdakwa pembunuhan sewenang-wenang (unlawful killing) terhadap anggota Front Pembela Islam (FPI) lepas dari hukuman pidana meskipun dakwaan primer jaksa terbukti.

Putusan hakim ini disambut bahagia penuh syukur oleh Direktur Eksekutif Komite Pemberantasan Mafia Hukum (KPMH), Muannas Alaidid. Sejak awal kasus bergulir, Muannas yakin Ipda Yusmin dan Briptu Fikri tidak pantas duduk sebagai 'pesakitan.' 

"Ipda yusmin & briptu fikri sedari awal mmg tdk pantas dipaksa duduk sbg pesakitan insiden KM50," ujarnya lewat cuitan di akun Twitter @muannas_alaidid dilansir Jumat, 19 Maret.

Menurut Muannas, kedua polisi ini tengah menjalankan tugasnya. Wajib hukumnya untuk membela diri saat ancaman datan.

"mrk sdg bertugas & siapapun wajib beladiri dr setiap ancaman yg dpt membahayakan nyawa & sdh dibuktikan smua dlm pertimbangan hakim yg menilai sbg *noodweer exces* pembelaan terpaksa," tegas dia. 

Oleh hakim, perbuatan Brigadir Polisi Satu (Briptu) Fikri Ramadhan dan Inspektur Polisi Dua (Ipda) Mohammad Yusmin Ohorella tidak dapat dikenai pidana karena masuk dalam kategori pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas.

"Dengan demikian, Briptu Fikri dan Ipda Yusmin tidak dapat dijatuhi pidana karena alasan pembenaran dan pemaaf, " kata Hakim Ketua M. Arif Nuryanta dalam putusan yang dibacakan saat sidang di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Antara, Jumat, 18 Maret. 

Dalam pertimbangannya, hakim menerangkan alasan pembenaran itu menghapus perbuatan melawan hukum yang dilakukan Briptu Fikri dan Ipda Yusmin, sementara alasan pemaaf menghapus kesalahan kedua polisi tersebut.

Tindakan melawan hukum terdakwa ialah merampas nyawa orang lain dengan menembak empat anggota FPI di dalam mobil Xenia milik polisi pada 7 Desember 2020. Perbuatan pidana itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP, masuk dalam dakwaan primer jaksa.

Terkait itu, majelis hakim berpendapat seluruh unsur dalam dakwaan primer jaksa terbukti, tetapi perbuatan itu merupakan upaya membela diri. Dengan demikian, kedua polisi tersebut tidak dapat dihukum, sehingga dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

Majelis hakim juga memerintahkan agar kemampuan, hak, dan martabat kedua polisi itu dipulihkan. Selanjutnya, majelis hakim memerintahkan sejumlah barang bukti dikembalikan ke Polda Metro Jaya, ke keluarga korban, dan sisanya dimusnahkan.

Usai mendengar putusan lepas hakim, Koordinator Tim Penasihat Hukum Henry Yosodiningrat menyampaikan pihaknya menerima putusan tersebut. "Alhamdulilah, kami menerima putusan," kata Henry.

Sementara itu, jaksa penuntut umum, yang diwakili oleh jaksa Fadjar, menyampaikan pihaknya akan mempertimbangkan putusan tersebut.

Polisi menembak mati enam anggota FPI di dua lokasi berbeda pada Desember 2020, yakni Luthfi Hakim (25), Andi Oktiawan (33), Muhammad Reza (20), Ahmad Sofyan alias Ambon (26 tahun), Faiz Ahmad Syukur (22), dan Muhammad Suci Khadavi (21).

Penembakan terhadap dua di antaranya, yakni Luthfi dan Andi, merupakan upaya penegakan hukum dan membela diri, menurut majelis hakim. Majelis hakim juga memutuskan penembakan terhadap empat sisanya merupakan upaya membela diri dari pihak polisi.