Bagikan:

PADANG - Kasus kelebihan bayar tidak hanya terjadi di kota yang dipimpin Anies Baswedan, DKI Jakarta saja. Meski berbeda peruntukannya termasuk Organisasi Perangkat Daerah (OPD), kasus serupa juga terjadi di Sumatera Barat (Sumbar).

Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kepatuhan atas belanja daerah Pemerintah Provinsi Sumbar tahun 2021 yang dikelurkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terdapat anggaran sekitar Rp12,5 miliar. 

Tindaklanjut dari temuan ini, DPRD Sumatera Barat langsung membentuk membentuk panitia khusus (pansus). Ketua DPRD Sumbar Supardi mengatakan,  pansus ini terdiri dari 14 anggota DPRD dari semua fraksi.

"Setelah ditentukan 14 anggota, kemudian mereka bermusyawarah untuk menentukan ketua, wakil ketua dan sekretaris. Setelah itu dikeluarkan Surat Keputusannya," kata dia di Padang dilansir dari Antara, Jumat, 11 Februari. 

Salah seorang anggota Pansus, Nofrizon membeberkan rincian dari temuan LHP yang dikeluarkan 27 Januari 2022 lalu. Ada temuan Rp12,5 miliar lebih di sejumlah OPD.

Berupa, realisasi bantuan benih/bibit ternak, alat dan mesin pertanian dan benih/bibit perkebunan di dua OPD sebesar Rp2 miliar lebih yang tidak tepat sasaran.

Kemudian kelebihan pembayaran belanja perjalanan dinas pada dua OPD sebesar Rp423 juta lebih. Setelah itu kelebihan pembayaran 12 paket pekerjaan gedung dan bangunan pada tiga OPD sebesar Rp838 juta lebih.

Selanjutnya pelaksanaan tiga paket pekerjaan gedung dan bangunan pada tiga OPD putus kontrak. Pengembalian uang muka serta jaminan pelaksanaan belum dicairkan sebesar Rp7,9 miliar lebih. Selanjutnya kelebihan pembayaran 17 paket pekerjaan jalan dan irigasi pada dua OPD sebesar Rp735 juta lebih.

Setelah itu ada pemberian bantuan bencana alam banjir bandang dan tanah longsor di Nusa Tenggara Timur yang bersumber dari Belanja Tidak Terduga sebesar Rp750 juta tidak sesuai ketentuan. Pihaknya akan bekerja maksimal untuk menindaklanjuti LHP tersebut setelah Pansus terbentuk.

“Kita alan dalam dan kaji temuan ini untuk ditindaklanjuti bersama agar temuan ini dapat dikembalikan dan menjadi evaluasi ke depan,” kata dia.

Untuk kelebihan bayar di DKI Jakarta terjadi pada pengadaan alat rapid test COVID-19 pada 2020 dengan nilai Rp1,1 miliar, pembayaran gaji pegawai yang sudah wafat dan pensiun senilai Rp862 juta, lebih bayar Rp6,5 miliar pada 4 paket alat pemadam kebakaran. 

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam beberapa kesempatan telah menjawab hasil audit BPK kasus kelebihan bayar ini. Anies mengklarifikasi beberapa hal terkait temuan BPK pada saat sidang paripurna 2 Agustus.

Terkait pemborosan atas pengadaan masker dan alat rapid test COVID-19 misalnya, menurut Anies hal itu telah ditindak lanjuti sesuai dengan rekomendasi BPK. "Sudah ditindaklanjuti sesuai dengan rekomendasi BPK," kata Anies. 

Selain itu, soal kelebihan bayar pada pembelian paket pengadaan alat mobil pemadam, Anies juga bilang temuan tersebut telah ditindak lanjuti. "Dan dikembalikan ke Kas Daerah."

Sementara itu Kepala Dinas Kesehatan DKI Widyastuti mengatakan masalah pengadaan masker dan rapid test, itu sebetulnya kegiatan tahun 2020 dan sudah dilakukan pemeriksaan oleh BPK. "Itu kegiatan di tahun 2020 dan sudah dilakukan pemeriksaan oleh BPK dan tidak ditemukan kerugian negara," kata dia kepada wartawan 6 Agustus.

Menurut Widyastuti masalah kelebihan bayar masker dan alat tes COVID-19 ini hanya masalah administrasi. "Tidak ada kerugian negara, itu hanya masalah administrasi saja."

Widyastuti juga menjelaskan alasan ada perbedaan harga pengadaan masker. "Itu kan Awal awal dulu kan masker sulit sehingga banyak sekali jenis yang ada. Nah tentu kita sesuai dengan spek yang diminta dengan masukan dari user," kata dia.